Friday, June 15, 2007

Statistik Pornografi di Internet


Percaya nggak percaya, diakses dari majalah online Good Magazine
· 12% situs di dunia ini mengandung pornografi.

· 25% yang dicari melalui search engine adalah pornografi.

· 35% dari data yang diunduh dari internet adalah pornografi.

· Setiap detiknya 28.258 pengguna internet melihat pornogafi.

· Setiap detiknya $89.00 dihabiskan untuk pornografi di internet.

· Setiap harinya 266 situs porno baru muncul.

· Kata “sex” adalah kata yang paling banyak dicari di internet.

· Pendapatan US dari pornografi di internet tahun 2006 mencapai $2.84 milyar.

· Pengguna pornografi di internet 72% pria dan 28% wanita.

· 70% traffic pornografi internet terjadi pada hari kerja jam 9.00 – 17.00.

· Diperkirakan kini ada 372 juta halaman website pornografi.

· Website pornografi diproduksi 3% oleh Inggris, 4% oleh Jerman, dan 89% oleh US.
· Website pornografi yang traffic-nya paling tinggi: AdultFriendFinder, menduduki peringkat ke-49 dengan 7.2 juta pengunjung.

· Negara-negara yang melarang pornografi: Saudi Arabia, Iran, Bahrain, Mesir, Uni Emirat Arab, Kuwait, Malaysia, Indonesia, Singapura, Kenya, India, Kuba, dan Cina.

 

Baca Selengkapnya......

Komunikasi Efektif dalam Tim


Salah satu komponen penting dalam membangun sebuah teamwork yang baik adalah adanya komunikasi yang efektif dalam tim tersebut 

Komunikasi dapat memperkuat ataupun memperlemah bahkan menghancurkan sebuah tim. Good communication can build up a team, bad one can break it. Komunikasi yang baik dapat membangun kekuatan sebuah tim, sedangkan komunikasi yang buruk dapat menghancurkannya.

Berikut adalah artikel mengenai komunikasi efektif dalam sebuah tim, yang ditulis oleh Jimmy Sentoso, mahasiswa peserta mata kuliah People Skill II program Magister Management Universitas Bina Nusantara.

Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Tentu kita sudah sering mendengar semboyan tersebut di telinga kita. Semboyan ini merupakan salah satu semboyan dalam perjuangan bangsa kita dalam perang untuk merebut kemerdekaan. Hal ini dapat kita lihat secara nyata dalam contoh sebuah sapu lidi. Batang yang digunakan untuk membuat sapu lidi teramat tipis dan rapuh. Seorang anak berusia lima tahun pun dapat mematahkannya dengan mudah. Tetapi apa yang terjadi apabila kita menyatukan batang lidi yang teramat tipis dan rapuh tersebut menjadi sebuah sapu lidi? Jangankan seorang anak kecil yang berusia lima tahun, orang dewasa yang telah berusia dua puluh tahun pun tidak dapat mematahkannya walau ia menggunakan seluruh tenaganya. Begitu pula yang akan terjadi apabila kita bekerjasama dalam sebuah tim.

Sebenarnya, setiap orang di planet ini terlibat atau melibatkan diri dalam pembangunan tim. Oleh karena itu, kita dirancang untuk berfungsi dalam jalinan dan hubungan saling ketergantungan dengan orang lain. Hal ini tidak terlepas dari sifat manusia yang merupakan makhluk sosial, yang harus berinteraksi dengan sesamanya untuk dapat hidup dengan baik. Sebuah perusahaan merupakan kerjasama dari tim. Sebuah klub sepak bola merupakan hasil kerjasama sebuah tim. Bahkan untuk hal-hal yang bersifat individual pun tetap memerlukan sebuah tim untuk dapat berfungsi secara baik. Sebagai contoh dapat kita lihat pada olahraga perseorangan seperti olah raga tinju, lari, golf maupun catur. Kita tidak dapat berhasil mencapai suatu kesuksesan dalam olah raga tersebut tanpa adanya kerjasama. Seorang atlet tinju, lari, golf, dan olah raga individu lainnya tetap membutuhkan pelatih, manajer, maupun para pendukungnya untuk saling bekerjasama dalam mencapai sukses.

Kapan dan di mana pun orang bersama-sama atau berada dalam kebersamaan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, itulah sebuah tim. Prioritas utama sebuah tim apapun adalah untuk belajar berfungsi seefektif dan semulus-mulusnya sehingga secara individu dan bersama-sama, anggota tim itu dapat meraih sasaran yang tepat. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat meraih kesuksesan tanpa bekerjasama dengan orang lain.



Kekuatan Kerja Tim

TEAM (Tim) bukanlah sekedar kata, melainkan juga merupakan akronim untuk suatu kebenaran yang dahsyat, yaitu Together Everyone Achieve More. Konsep dari tim ini terbentuk dari kata yang sering kita dengar berulang kali, yaitu sinergi. Kata sinergi ini berasal dari bahasa Yunani sunergos, ”sun” berarti bersama dan ”ergon” berarti bekerja. Sinergi berarti interaksi dari dua individu atau lebih atau kekuatan yang memungkinkan kombinasi tenaga mereka melebihi jumlah tenaga individu mereka.

Kerja tim adalah kemampuan untuk bekerja sama menuju satu visi yang sama, kemampuan mengarahkan pencapaian individu ke arah sasaran organisasi. Itulah rangsangan yang memungkinkan orang biasa mencapai hasil yang luar biasa. Dalam mata kuliah Organizational Behavior yang pernah saya pelajari, terdapat demonstrasi bagaimana kerjasama dapat menghasilkan suatu hal yang luar biasa. Kami disuruh untuk membentuk beberapa tim yang beranggotakan lima orang, di mana kami semua belum memiliki kemampuan untuk menganalisis bidang ini dengan baik. Setiap orang dalam kelompok kami diminta untuk memberikan peringkat terhadap suatu hal berdasarkan urutan dari hal yang kami anggap paling penting. Setelah itu setiap pendapat dari kami digabungkan untuk mendapatkan rata-rata peringkat untuk setiap kelompok. Apa yang terjadi? Kesimpulan rata-rata kelompok kami mendekati jawaban yang telah diberikan. Bahkan apabila hasil dari setiap kelompok disatukan dan diambil rata-ratanya, maka penilaian kami hampir sama dengan penilaian para ahli di bidang tersebut.

Demonstrasi nyata lain mengenai prinsip sinergi dapat kita lihat pula dalam kontes kuda penghela dalam kontes kuda penghela di suatu pekan raya kota. Kuda juara dalam kontes tersebut mampu menghela gerobak seberat 2.250 kilogram. Juara kedua sanggup menarik beban sebesar 2.000 kilogram. Dalam teori, berarti kedua kuda tersebut secara bersama-sama harus mampu menggerakkan maksimum 4.250 kilogram. Untuk uji coba teori tersebut, pemilik kedua kuda memadukan kedua kuda dan membebaninya dengan gerobak. Semua orang yang melihat terperangah. Kedua kuda tersebut mampu menarik beban seberat 6.000 kilogram, atau 1.750 kilogram lebih berat dibanding jumlah upaya yang mampu mereka lakukan sendiri-sendiri. Sinergi dapat dipakai untuk menyatukan tenaga individu, menutup keterbatasan individu, untuk menggandakan upaya individu, supaya sasaran yang lebih banyak dan lebih besar dapat dicapai.

Komunikasi

Ada lima komponen atau unsur penting dalam komunikasi yang harus kita perhatikan. Kelima unsur tersebut adalah: pengirim pesan (sender), pesan yang dikirimkan (message), bagaimana pesan tersebut dikirimkan (communication channel), penerima pesan (receiver), dan umpan balik (feedback). Pesan tersebut disampaikan melalui suatu media komunikasi, sehingga dapat diterima dengan baik oleh si penerima, dan menghasilkan umpan balik yang berguna bagi si pengirim pesan. Yang dimaksud media komunikasi di sini bukan hanya berupa percakapan secara langsung dengan menggunakan suatu bahasa yang dapat dimengerti, melainkan segala hal yang dapat membuat individu saling berinteraksi dan saling mengerti mengenai pesan apa yang akan disampaikan, sehingga tidak terjadi salah penafsiran mengenai isi dari pesan tersebut. Media komunikasi tersebut bisa juga berupa isyarat melalui gerakan tubuh, morse, maupun melalui alat bantu seperti surat, gambar, serta alat bantu visual lainnya.



Komunikasi dalam Tim

Untuk dapat membangun kerjasama dalam sebuah tim, diperlukan komunikasi antaranggotanya agar tujuan bersama dapat tercapai. Pernahakan kita membayangkan apa yang terjadi dalam suatu tim apabilla setiap anggota tim tidak dapat berkomunikasi dengan baik dengan anggota tim lainnya? Seberapa pun hebatnya kemampuan individu dalam suatu tim, mereka tidak akan ada gunanya apabila tidak dapat berkomunikasi antara yang satu dengan lainnya. Mereka hanya akan menjadi sebuah kelompok yang tidak tahu ke mana arah yang akan dituju. Keahlian mereka akan menjadi sia-sia apabila mereka tidak dapat mengkomunikasikannya dengan orang lain. Seperti yang telah dikatakan oleh William Shakespeare ”No man is lord of anything, though in and of him there be much consisting, till he communicate his part to other.”

Contoh nyata yang sering kita lihat adalah pada pertandingan sepak bola. Sering kali pada pertandingan sepak bola, di mana terdapat suatu tim yang bertabur bintang dengan skil individu yang tinggi kalah oleh sebuah tim yang berisikan pemain dengan kemampuan skill individu yang tidak begitu menonjol. Apa yang menyebabkan tim tersebut dapat menang? Komunikasi yang baik dan saling pengertian antarpemain dalam tim tersebutlah yang menyebabkan tim yang diisi oleh pemain yang memiliki skill rata-rata dapat berubah menjadi tim yang hebat dan menakutkan. Hal ini telah diakui oleh pelatih sepak bola manapun di dunia ini. Mereka mengakui bahwa skill individu merupakan hal yang penting, tetapi ada hal yang lebih penting dalam suatu tim sepakbola; yaitu kerjasama tim, kesadaran akan tugasnya masing-masing dan saling pengertian antarpemain tim tersebut.


Hukum Komunikasi Efektif

Prinsip dasar yang harus kita perhatikan dalam berkomunikasi dapat kita rangkum dalam satu kata, yaitu REACH (Respect, Empathy, Audible, Clarity, Humble), yang berarti merengkuh atau meraih.

Hukum pertama dalam berkomunikasi adalah Respect. Respect merupakan sikap hormat dan sikap menghargai terhadap lawan bicara kita. Kita harus memiliki sikap (attitude) menghormati dan menghargai lawan bicara kita karena pada prinsipnya manusia ingin dihargai dan dianggap penting. Jika kita bahkan harus mengkritik seseorang, lakukan dengan penuh respek terhadap harga diri dan kebanggaan orang tersebut. Samuel Johnson mengatakan bahwa ”There will be no RESPECT without TRUST, and there is no trust without INTEGRITY.”

Hukum kedua adalah Empati, yaitu kemampuan kita untuk menempatkan diri kita pada situasi atau kondisi yang dihadapi oleh orang lain. Rasa empati akan memampukan kita untuk dapat menyampaikan pesan (message) dengan cara dan sikap yang akan memudahkan penerima pesan (receiver) menerimanya. Jadi sebelum kita membangun komunikasi atau mengirimkan pesan, kita perlu mengerti dan memahami dengan empati calon penerima pesan kita. Sehingga nantinya pesan kita akan dapat tersampaikan tanpa ada halangan psikologis atau penolakan dari penerima. Prinsip dasar dari hukum kedua ini adalah ”Perlakukan orang lain seperti Anda ingin diperlakukan.” ”Seek first to understand then be understood to build the skills of emphatetic listening that inspires openness and trust.” (Stephen Covey)

Empati bisa juga berarti kemampuan untuk mendengar dan bersikap perseptif atau siap menerima masukan atau pun umpan balik apa pun dengan sikap yang positif. Banyak sekali dari kita yang tidak mau mendengarkan saran, masukan apalagi kritik dari orang lain. Padahal esensi dari komunikasi adalah aliran dua arah. Komunikasi satu arah tidak akan efektif manakala tidak ada umpan balik (feedback) yang merupakan arus balik dari penerima pesan.

Hukum ketiga adalah Audible. Makna dari audible antara lain: dapat didengarkan atau dimengerti dengan baik. Kunci utama untuk dapat menerapkan hukum ini dalam mengirimkan pesan adalah:

 Buat pesan Anda mudah untuk dimengerti

Fokus pada informasi yang penting

Gunakan ilustrasi untuk membantu memperjelas isi dari pesan

Taruhlah perhatian pada fasilitas yang ada dan lingkungan di sekitar Anda

Antisipasi kemungkinan masalah yang akan muncul

Selalu menyiapkan rencana atau pesan cadangan (backup)



Hukum keempat adalah kejelasan dari pesan yang kita sampaikan (Clarity).

Pesan yang ingin disampaikan harus jelas sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi atau berbagai penafsiran yang berlainan. Clarity juga sangat tergantung pada kualitas suara kita dan bahasa yang kita gunakan. Penggunaan bahasa yang tidak dimengerti, akan membuat isi dari pesan kita tidak dapat mencapai tujuannya. Seringkali orang menganggap remeh pentingnya Clarity, sehingga tidak menaruh perhatian pada suara (voice) dan kata-kata yang dipilih untuk digunakan. Beberapa cara untuk menyiapkan pesan agar jelas yaitu:

 Tentukan goal yang jelas

 Luangkan waktu untuk mengorganisasikan ide kita

 Penuhi tuntutan kebutuhan format bahasa yang kita pakai

 Buat pesan Anda jelas, tepat dan meyakinkan

 Pesan yang disampaikan harus fleksibel



Hukum kelima dalam komunikasi tim yang efektif adalah sikap rendah hati (Humble)

Sikap ini merupakan unsur yang terkait dengan hukum pertama untuk membangun rasa menghargai orang lain, biasanya didasari oleh sikap rendah hati yang kita miliki. Kerendahan hati juga bisa berarti tidak sombong dan menganggap diri penting ketika kita berbicara. Justru dengan kerendahan hatilah kita dapat menangkap perhatian dan respons yang positif dari si penerima pesan.

Kita telah mengetahui betapa hebatnya fungsi dari suatu tim, di mana sekumpulan orang yang biasa saja dapat menghasilkan suatu output yang luar biasa. Namun tim tersebut akan menjadi tidak efektif apabila kita tidak dapat saling berkomunikasi. Oleh karena itu diharapkan kita dapat menggunakan kelima hukum komunikasi tersebut untuk membantu kita dalam menciptakan suatu tim yang solid.n

 

Baca Selengkapnya......

Monday, June 11, 2007

Bunga Citra Lestari - Ingkar

Bunga Citra Lestari - Ingkar
 
di saat cinta tercipta
semestinya aku merasa
di kala hasrat mendalam
semestinya aku berbalas

dari hati kini kusadari
tak semestinya aku berkasih
jika hati tak dapat berbagi
baiknya rasa itu tersimpan dalam

reff:
semestinya aku mencinta
seharusnya aku menyayang
oh maafkan jika
semua ini yg kuberikan untukmu

dari hati kini kusadari
tak semestinya aku berkasih
jika hati tak dapat berbagi
baiknya rasa itu tersimpan dalam

repeat reff

Baca Selengkapnya......

Tuesday, June 5, 2007

Perempuan dan Media Massa


Catatan kecil ini ingin ikut serta merayakan Hari Ibu 22 Desember 2003. Di tengah perdebatan apakah nama Hari Ibu bisa mewakili kepentingan semua perempuan, termasuk juga bagi perempuan yang secara biologis belum menyandang predikat ibu, 

tulisan ini justru ingin memperbincangkan konstruksi makna ibu dalam media massa kita, dengan mengambil kasus lama yang terjadi di tahun 1997. Hari Ibu 1997 telah “dicemari” dengan ditemukannya banyak mayat calon bayi akibat aborsi ilegal. Sebagai akibatnya, hujatan panjang di media massa pun diarahkan kepada perempuan. Artikel mengenai buruknya perilaku perempuan yang adalah calon ibu marak di koran-koran baik nasional maupun lokal. Dan biasanya, ketika perempuan yang dihujat, maka laki-lakilah yang menjadi penghujatnya, sehingga dari lima artikel yang disoroti dalam tulisan ini, hanya satu yang ditulis oleh perempuan.

Media massa yang mengeksploitasi peristiwa tersebut rasanya telah memojokkan perempuan. Dengan menarik perhatian publik untuk lebih memperhatikan cerita-cerita yang dibangun media yang lebih mengutamakan cerita kehidupan perempuan pelaku aborsi, klinik-klinik aborsi ilegal, dan bahkan yang tidak relevan sama sekali seperti cerita tentang siapa yang menemukan mayat bayi-bayi malang tersebut, dan bukannya mempertanyakan siapa laki-laki yang bertanggung jawab atas keberadaan calon bayi tersebut, media telah dengan sewena-wena membela kepentingan laki-laki. Karena kita hidup dalam budaya yang tidak memungkinkan kita untuk “bergender netral” seperti yang dikatakan oleh feminist Perancis Susan Bordo dalam artikelnya “Feminism, Postmodernism, and Gender Skepticism” (1990), mana ada media yang juga tidak bergender?(2).

Salah satu dari artikel yang menjadi sorotan dalam catatan ini, misalnya mempertanyakan penolakan perempuan untuk menjadi ibu sementara predikat tersebut masih dianggap sakral,

“Kendati bukan perilaku baru, kabar menghebohkan dari Jakarta soal keberanian sejumlah wanita yang menolak menjadi ibu manusia melalui cara-cara yang menyinggung perasaan sosial … apakah sebutan “ibu” tidak lagi sesakral dan seterhormat yang kita ketahui sehingga mesti ditolak?”(3)

Membaca kalimat tersebut, bagaimana perempuan seharusnya bereaksi? Bagi mereka yang memilih untuk tidak menjadi ibu dengan cara tersebut mungkin akan merasa malu karena perbuatannya sudah dipublikasi. Apakah sebagian yang lain yang menilai sucinya posisi ibu akan tersentuh dengan kenyataan bahwa secara biologis sebenarnya mereka mampu menghadirkan sebuah kehidupan baru tetapi lebih memilih untuk tidak melakukannya? Apakah yang lain akan merasa diobjektifikasi, dituduh, maupun dikorbankan? Tentu saja ada banyak alasan bagi perempuan untuk melakukan aborsi, sebagian mungkin merasa bebas untuk memilih melakukannya sedangkan yang lain mungkin tidak punya pilihan lain. Yang pasti, memilih untuk menjadi atau menolak menjadi ibu tidak hanya berurusan dengan fungsi biologis perempuan saja, tetapi juga kewajiban perempuan untuk menjaga nilai-nilai moral yang dianut lingkungan sosialnya.

Apakah catatan ini sudah demikian prejudis mencurigai adanya konspirasi antara laki-laki dan media massa? Jika dilihat dari perilaku media, rasanya tidak berlebihan untuk meragukan sifat pembebasan media yang selama ini didengung-dengungkan, bahkan dikatakan sebagai senjata kelompok marginal untuk mendapatkan posisinya. Apakah ini karena media massa masih belum kuat betul atau cukup dewasa untuk membebaskan dirinya dari pelukan “diskriminasi gender” yang tiada akhir?(4) Atau memang karena mereka sendiri pada dasarnya bersifat diskriminatif terhadap perempuan?

Jika kita menilik figur angka pelaku media massa, ada suatu pembagian yang sangat tidak seimbang antara perempuan dan laki-laki.(5) Ketimpangan jumlah antara jurnalis perempuan dan laki-laki tentu tidak dengan sendirinya menjawab pertanyaan kenapa media kita begitu seksis. Belum tentu jurnalis perempuan sudah memiliki perspektif gender dalam menurunkan tulisan dan menilai permasalah sosial yang dihadapinya.

Ironisnya, jika media massa di satu sisi mempromosikan nilai-nilai “kesejajaran” antara laki-laki dan perempuan, di sisi lain masih juga menjalankan praktek-praktek obsolit. Di satu sisi, sebagai agen dari propaganda adil gender, media massa memberikan aplaus pada slogan “peran ganda perempuan modern”, di sisi lain mereka menuntut perempuan, sebagai “lawan jenisnya”, untuk tetap tinggal “terdomestikasi” dengan meragukan kemampuan mereka untuk berkarya di dunia publik, tentu saja dengan menggunakan perspektif media massa yang maskulin.

“… kesempatan pun tidak banyak buat wanita untuk berperan di luar rumah. Lalu kembali lagi peran rumah tangga ditekankan.” (6)

Secara arogan, media massa, mengaku memiliki hak untuk menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan oleh perempuan. Dalam hal ini, media massa telah menjadi tidak lebih sekedar perpanjangan penindasan laki-laki terhadap perempuan. Secara sinis (atau karena cemburu?) dan dihantui oleh kontra-hegemoni kultural dan material yang dimiliki perempuan, media menganggap bahwa keberhasilan perempuan di ranah publik tidak lebih sekedar cerita sukses negara untuk mengeksploitasi mereka dalam mendorong pembangunan nasional. Seringkali media massa menulis bahwa partisipasi perempuan di dunia publik hanyalah bukti kejahatan kapitalisme yang mendehumanisasi mereka, bahkan membanting nilai kemanusiaan mereka di bawah nilai-nilai produksi dan pasar.(7) Namun, bukankah diskriminasi gender sudah ada bahkan sebelum era modernisme? Model produksi kapitalisme bukankah “hanya” memanfaatkan ketimpangan gender itu yang kemudian, karena reproduksi pola yang terus menerus, semakin mempertajam segregasi ranah publik-domestik.(8) Hal ini tentu bukan hanya hasil patrimoni dari imperialisme dan kolonialisme, tetapi lebih merupakan transformasi yang muncul karena keterlibatan semua faktor ini yang terus direproduksi karena telah terbukti menguntungkan sebagian pihak yang kebetulan semakin berkuasa. (9)

Pada saat media massa menghujat peran perempuan bekerja, mereka memuja-muja peran ibu sebagai faktor penentu dari masa depan bangsa dengan mempersiapkan keturunan mereka dalam menghadapi era tinggal landas. Gagasan bahwa rumah tangga adalah urusan perempuan, walaupun kedengaran tidak sesuai dengan slogan kesejajaran, tentu saja didukung oleh institusi yang bernama negara, karena pembagian posisi peran laki-laki dan perempuan yang jelas dan tertib bisa mendukung suksesnya program-program pemerintah. Tarik ulur antara meraih dunia publik dan mempertahankan dunia domestik, betapapun dikotomi publik-domestik masih bisa diperdebatkan, bisa jadi membingungkan perempuan dalam menentukan posisi mereka. Apakah mereka harus kehilangan hak-hak istimewa (privilege) yang sudah terlegitimasi hanya untuk satu posisi yang tidak jelas jika mereka harus memasuki dunia asing yang dinamakan ranah publik?

“Peradaban milenium ketiga hanya bisa berharap agar kaum wanita memilih untuk tidak gagal menjadi ibu anak-anak zaman."(10)

Karakterisitik media massa yang manipulatif seringkali juga merugikan perempuan jika kasus-kasus yang diangkat melibatkan perempuan. Dalam mengenangkan kasus Marsinah, tahun 1993, masyarakat, terutama “kaum perempuan” dan “kaum buruh” (workers and women)(11), berterimakasih kepada media massa karena mereka telah secara terus menerus melaporkan kasus tersebut dan menarik perhatian internasional terhadap stigma tersebut. Mereka telah membawa nama Marsinah ke posisi terpopuler dan paling banyak dibicarakan hanya setelah kematiannya. Namun penulis berpikir, apa yang terjadi jika Marsinah tidak terbunuh? Atau pertanyaan yang lebih seksis, bagaimana jika Marsinah bukan seorang perempuan melainkan laki-laki? Bukan Marsinah tetapi Marsono? Apa yang sebetulnya menarik perhatian media massa tentang skandal ini? Apakah pembunuhannya, apakah isu gendernya, konflik kelas, atau karena kecurigaan adanya praktek-praktek kekuatan politik di belakang pembunuhan ini?

Media massa telah mengeksploitasi seluruh kehidupan masa lampau Marsinah, mencampuri kehidupan keluarganya, teman-teman, pacar, tetangga, dan meramu serta menyajikan semua ini dengan terminologi-terminologi politik yang susah dipahami. Kita mungkin tidak pernah tahu apakah sikap kritis Marsinah adalah perwujudan dari kesadaran politisnya atau hanyalah pertahanan dirinya menghadapi kesulitan hidup sehari-hari. Media massa menggunakan “kematiannya” dan bukannya kehidupannya yang singkat sebagai bahan berita, karena siapa dia sebelum kematiannya bukanlah “berita yang pantas dipublikasikan”. Reproduksi berita-berita dan spekulasi media massa yang ditampilkan secara berulang-ulang telah menghasilkan versi-versi yang semakin fantastis. Alhasil media massa telah menciptakan skenario mereka sendiri tentang perang gender yang tidak pernah berakhir.

Tidak terelakkan juga analisa politik bahwa pembunuhan Marsinah ini adalah panggung cerita konflik antara laki-laki yang direpresentasikan oleh orang-orang yang berkuasa sebagai “pembunuh” dan perempuan diwakilkan oleh Marsinah sebagai “terbunuh”. Siapakah yang memenangkan kontes ini? Nampaknya justru media massa, peserta kontes yang tidak terdaftar, atau juri, yang mempunyai kekuasaan untuk membentuk bagaimana cerita harus berakhir. Akhir cerita berubah menjadi kabur dan hanya media massa yang sadar akan substitusi antara apakah yang sesungguhnya (real) dan reproduksi dari yang sesungguhnya (hyper-real). Ketika cerita-cerita tentang buruh perempuan menampilkan nama-nama lain, media massa-lah yang melahirkan “reproduksi” dari sosok Marsinah.

Dalam ketimpangan relasi gender inilah, perempuan ditantang untuk menentukan posisinya, apakah mau secara naive terbawa arus dan mempertahankan “hegemoni kultural” yang terus-menerus dan mendapatkan penghormatan sebagai “ratu rumah tangga”, atau sebaliknya bersikap radikal manghadapi ketidakadilan ini dan dengan sadar menerima label “pemberontak”. Sayangnya, perempuan seringkali menjadi kikuk dan rapuh menghadapi semua tantangan ini. Dengan malu-malu mereka mempertontonkan pencapaian mereka dan menentukan sendiri standar keberhasilannya, meminta-minta pengakuan dari laki-laki, dan pada akhirnya meminta penghargaan dalam bentuk fasilitas untuk menstimulasi keberhasilan yang lebih baik lagi.(12) Secara tidak sadar hal ini mempertahankan “ketergantungan terwariskan” pada perempuan terhadap laki-laki.

“Memperingati hari yang sering disebut hari permuliaan kaum ibu ini, adalah saat yang paling baik untuk berterima kasih atas jasa-jasa ibu dalam melaksanakan tugas kodraatinya, yakni hamil, melahirkan, menyusui. Perwujudan dari rasa terima kasih itu bisa berupa pemberian kesempatan untuk berkarya cipta seperti kaum pria.” (13)

Bukanlah pernghargaan maupun pengakuan yang seharusnya diminta perempuan, melainkan “ruang” yang dapat membantu perempuan menjadi tumbuh, dewasa dan berpikir lebih rasional dengan kesadaran mereka sendiri. “Ruang” dimana mereka bisa belajar memahami pengalaman mereka, tidak hanya pengalaman yang sama melainkan juga yang berbeda-beda dan personal. Namun demikian, justru pembagian “ruang” inilah satu-satunya gagasan yang masih susah untuk diserahkan oleh laki-laki, tidak tanpa dominasi. Sama susahnya untuk merelakan 30% posisi calon legislatif pada perempuan. Hanya melalui kesadaran inilah, apapun yang mereka lakukan, perempuan mampu untuk membebaskan diri mereka dari “alienasi” terhadap tubuh dan kehidupannya sendiri.(14)

Media massa, sebagai penerus aspirasi masyarakat, jika tidak diskriminatif gender sebetulnya adalah alat yang bisa diandalkan bagi perempuan untuk menyuarakan kepentingan mereka. Apalagi di era reformasi sekarang ini, dimana media massa mempunyai akses bebas terhadap sumber-sumber berita dan kebebasan mengemukakan gagasannya. Harapannya adalah, jika isu yang sama muncul kembali, semoga saja ada lebih banyak suara yang mendukung, atau setidaknya empati terhadap perempuan. Sebab, kasus aborsi tidak bisa dipisahkan juga dari perilaku laki-laki.

Namun, dengan melihat begitu banyaknya kejadian yang menimpa perempuan sepanjang tahun ini saja, enam tahun sejak kasus aborsi masal tersebut meledak, mulai dari kasus TKW sampai dengan pornografi, dan kecenderungan media massa untuk menampilkannya dalam berita dengan bahasa-bahasa dan analisa yang melecehkan dan tidak berpihak pada perempuan, semoga tulisan ini tidak terlalu skeptis dan pesimis dengan menanyakan satu pertanyaan akhir yang belum juga terjawab, yaitu jika “medianya” saja sudah tidak sensitif gender, apakah mungkin “pesannya” menjadi lebih adil terhadap perempuan? Dan satu lagi, bukankah Hari Ibu intinya memperingati semua perempuan, dan bukan hanya yang telah dan bersedia menjadi ibu saja?

 

Baca Selengkapnya......

Peran Media Global dalam Pembentukan Identitas Islam di Indonesia


Pada tanggal 21 Mei 2006, pusat kota Jakarta lumpuh semenjak pagi hingga sore hari. Hal ini disebabkan berkumpulnya massa yang jumlahnya tidak kurang dari 1 juta orang. Mereka melakukan aksi damai mendukung diterapkannya aturan mengenai pakaian dan kesusilaan yang berdasarkan syariat Islam (untuk tidak menyatakan, mendukung RUU APP). Massa sebesar itu merupakan gabungan dari berbagai elemen Islam, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Islam (Persis), Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), al-Irsyad, dan lain-lain. Aksi yang sama juga terjadi di seluruh kota-kota besar di Indonesia. 

Setelah beberapa tahun lalu sering disibukkan dengan masalah perbedaan mazhab, kini hampir seluruh organisasi Islam bergabung dalam satu barisan, satu langkah, dan satu isu bersama. Di samping itu, umat Islam melalui ormas-ormasnya ternyata mampu mengartikulasikan keinginan politiknya, dengan kata lain, kecerdasan dan partisipasi umat Islam yang selama ini dianggap pupus dan mandul, mulai menyeruak muncul. Berkelanjutan dengan bergulirnya isu Anti Pornografi dan Pornoaksi, muncul isu mengenai Peraturan Daerah yang banyak mengadopsi atau bahkan menjadi batu loncatan penerapan, syariat Islam.

Beberapa kejadian diatas memberikan petunjuk, bahwa di Indonesia sedang muncul keinginan sebagian besar warga Indonesia untuk kembali kepada Islam. Penduduk Indonesia, bisa dikatakan mulai memilih untuk menghubungkan identitasnya sebagai bagian dari umat Islam sedunia. Proses identifikasi diri ini (baca: fragmentasi) justru terjadi manakala dunia sedang mengalami transformasi penghilangan sekat-sekat teritorial atas pergerakan modal, penduduk, dan informasi yang berjalan sangat masif (baca: globalisasi).

Beberapa detik setelah roket Israel menghantam Jalur Gaza di Palestina ketika ramai perebutan Piala Dunia 2006 di Jerman kemarin, dapat langsung menyedot kembali perhatian umat Islam di Indonesia. Terlihat, keesokan harinya, puluhan ribu massa HTI, MMI, PKS, dan lain-lain turun ke jalan-jalan di Jakarta untuk menghujat Israel dan sekutunya, Amerika Serikat dan Inggris. Rupanya kemajuan teknologi informasi yang terstruktur dalam tatanan media global memiliki andil dalam berbagai dinamika proses identifikasi diri tersebut

Komunikasi Massa dan Media Global

Komunikasi telah mencapai suatu tingkat dimana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serentak dan serempak. Teknologi komunikasi muthakhir telah menciptakan apa yang disebut ‘publik dunia’ (Dofivat, 1967 dalam Rakhmat, J.,1999). Bersamaan dengan perkembangan teknologi komunikasi ini, meningkat pula kecemasan tentang efek media massa terhadap khalayaknya. Dofivat mengingatkan kita tentang kemungkinan dikontrolnya media massa oleh segelintir orang untuk kepentingannya sendiri, sehingga jutaan manusia kehilangan kebebasannya. George Orwell, futuris lainnya, meramalkan suatu dunia pada tahun 1984. Dalam ramalan tersebut seorang diktator mengendalikan pikiran dan tingkah laku rakyat dengan teknologi komunikasi yang cermat dan rumit.

Pada akhirnya, Jalaluddin Rakhmat merangkum sendiri definisi komunikasi massa menjadi, sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik, sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Rakhmat, J., 1999)

Sementara itu, media global secara mudah, didefinisikan sebagal sistem media komersial yang telah berhasil membuat informasi sampai pada tingkatan global. Ia didominasi oleh sejumlah kecil korporasi media transnasional yang sangat kuat dan biasanya berbasis di Amerika Serikat. Ia adalah sebuah sistem yang bekerja untuk meningkatkan justifikasi bagi perlunya pasar global dan menyebarkan nilai-nilai komersial, sementara kritik jurnalisme dan budaya tidak menjadi perhitungan bagi kepentingan korporasi jangka panjang. (McChesney, R., 1997)

Sistem komersial global adalah perkembangan yang sangat baru. Hingga tahun 1980-an, sistem media secara umum hanya memiliki jangkauan nasional. Meski terdapat impr buku-buku, film, musik, dan acara TV selama beberapa dekade, dasar sistem penyiaran dan industri koran masihlah dimiliki secara domestik, dan diregulasi. Pada awal tahun 1980an, tekanan dari IMF, Bank Dunia, dan pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan deregulasi dan privatisasi sistem media dan komunikasi, bertepatan dengan munculnya teknologi digital dan sistem satelit yang baru, menghasilkan kebangkitan bagi raksasa media transnasional

Diri dan Identitas

Banyak pemikir sosiologi yang melihat konsep diri, muncul, berkembang dan dipertahankan melalui proses interaksi sosial. Ia tidak diberikan ketika lahir atau merupakan konsekuensi yang tidak terhindarkan dari perkembangan biologis seseorang. Tetapi, seorang individu harus belajar siapa dirinya melalui interaksi dengan orang lain. Melalui interaksinya dengan orang lain, seseorang menjadi percaya bahwa dia memiliki diri yang berbeda dan bermakna (Sandstrom, et.al., 2001).

Permasalahan yang kemudian banyak diperhatikan adalah apakah tindakan seseorang dipengaruhi oleh konsep diri atau justru oleh situasi. Studi kualitatif Ralph Turner (1976) dan Louis Zurcher (1977) yang mengambil sampel masyarakat Amerika mendapati bahwa budaya Amerika telah berubah. Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, warga Amerika cenderung memiliki konsep diri yang stabil dan konsisten, yang biasanya dijangkarkan pada institusi sosial dimana mereka aktif, semisal keluarga, tempat kerja, gereja, atau sekolah. Pada tahun 1970-an, ternyata warga Amerika telah mengembangkan rasa diri yang bisa didiamkan (mutable), dan berjangkar lebih pada rangsangan ketimbang institusi, serta lebih dapat beradaptasi secara fleksibel pada tuntutan perubahan dalam masyarakat yang sangat cepat.

Erving Goffman, justru memandang bahwa tidak ada konsep diri yang real, ia hanyalah seperangkat topeng dan sandiwara situasi. Goffman menganggap bahwa interaksi sehari-hari dapat dipahami lebih baik jika kita berfikir, bahwa sesungguhnya orang-orang adalah aktor yang bermain di panggung. Sebagai aktor, mereka memainkan peran dan memanipulasi sandaran,seting, kostum serta simbol-simbol untuk mencapai hasil yang menguntungkan, semakin halus interaksi tersebut, makin dihargai orang tersebut. Orang-orang memiliki ide tentang siapa diri mereka, ide-ide yang mereka sajikan pada orang lain. Mereka memperhatikan citra yang orang lain bentuk dari mereka. Hanya dengan mempengaruhi citra dirinya kepada orang lain, mereka dapat memperkirakan atau mengontrol bagaimana orang lain akan merespon diri mereka. Proses penyesuaian (tailoring) tampilan mereka pada pemirsa yang lain sangat mendasar bagi interaksi sosial. Goffman menyebutnya sebagai impression management, sebuah proses dimana tiap orang memanipulasi bagaimana orang lain melihat dan menjabarkan situasi, membuat isyarat isyarat ekpresif yang membawa orang lain untuk bertingkah sebagaimana yang mereka rencanakan (Goffman, 1959 dalam Sandstrom, et.al., 2001).


II. Mencari Hubungan

Appadurai mengatakan, pergerakan global manusia dan persebaran media elektronik beserta produk budayanya adalah ciri khas dari momen sejarah kontemporer. Skala dan cakupan pergerakan dan persebaran global ini – beberapa aspek penting dimana kebanyakan orang menyebutnya sebagai globalisasi – mempunyai konsekuensi mendalam bagi proses kognitif dan proses sosial yang menjadi akar dari pembentukan identitas budaya. Dalam konteks globalisasi, proses kognitif dan proses sosial, hampir tidak dapat dihindari terkait dengan pertanyaan tentang komunitas dan negara serta penuh dengan tekanan politik dan budaya. Oleh karenanya, proses pembentukan identitas selalu merupakan sebuah perebutan ruang budaya dimana media massa – baik media mainstream maupun media alternatif – mewakili sumber daya sekaligus pembatas bagi konstruksi “imagined selves” dan “imagined worlds” (Appadurai, 1996).

Apa yang kemudian kita usahakan untuk ketahui saat ini sebenarnya adalah efek dari Media Global terhadap pembentukan identitas Islam / Muslim dari warga Indonesia. Yang berusaha kita ketahui saat ini bukanlah efek komunikasi massa terhadap pembentukan identitas, tetapi efek kepemilikan segelintir pihak atas sistem komunikasi massa global, terhadap pembentukan identitas. Ada dua teori yang akan digunakan untuk menjelaskan perihal perebutan ruang budaya ini. Yaitu, teori Cultural Imperialism, dan teori Cultural Critical.

Cultural Imperialism

Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa negara-negara Barat telah mendominasi media di seluruh dunia yang berakibat sangat besar pada budaya negara Dunia Ketiga dengan memaksakan pada mereka pandangan-pandangan Barat dan kemudian menghancurkan budaya asli mereka (Schiller, H.,1973).

Hal ini dapat terjadi karena Peradaban Barat dengan kemampuan finansial yang besar, mampu memproduksi berbagai bentuk media (film, berita, komik, dan lain-lain) dalam frekuensi yang besar pula. Sementara negara-negara lain memberli produk ini, karena ia lebih murah bagi mereka, ketimbang memproduksi sendiri. Oleh karena itu, negara Dunia Ketiga melihat media yang telah dicekoki dengan gaya hidup, gaya keyakinan, dan gaya berfikir dunia Barat. Dunia Ketiga kemudian ingin melakukan hal yang sama terhadap negara mereka, dan secara perlahan menghancurkan budaya mereka sendiri.
Menurut teori ini, manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana mereka merasakan, bertingkahlaku, berfikir, dan hidup. Mereka hanya bisa bereaksi pada apa yang mereka lihat di televisi. Hal ini terjadi karena tidak ada hal lain yang dapat dijadikan perbandingan yang seimbang. Oleh karenanya hanya ada satu kebenaran, dan apapun yang terjadi, kebenaran tersebut tidak akan berubah. Selama negara Dunia Ketiga terus menyiarkan program-progam Peradaban Barat, maka negara Dunia Ketiga akan terus mempercayai bahwa mereka harus bertindak, merasa, berfikir, dan hidup sebagaimana Peradaban Barat bertindak, merasa, berfikir, dan hidup.

Cultural Critical

Teori Kritik Budaya menyatakan bahwa media massa telah memaksakan ideologi dominan pada masyarakat lain. Pengonotasian kata serta citra adalah bagian dari pemaksaan ideologi, yang dilakukan sebagai bentuk pelayanan terhadap elit yang sedang berkuasa (Hall, S., 1976 dalam Griffin, E., 1997). Artinya, pertama, media telah menjadi alat kontrol atas bagaimana negara kita dilihat oleh publik dunia. Kedua, publik dunia adalah subyek sekaligus obyek dari media yang sangat mudah untuk dimanipulasi. Ketiga, tidak ada demokrasi dalam kendali media, karena media sendiri adalah alat yang dikendalikan oleh pihak elit yang berkuasa. Proses serta pesan yang terjadi dalam komunikasi, jelas bersifat hanya searah.

Identitas Islam – Muslim dan Ummah

Islam sebagai identitas yang dikenakan, dapat dikenali melalui pendekatan keyakinan yang dimiliki, tetapi tidak (belum) pada perbuatan yang mereka lakukan (karena itu ada istilah fasiq/pendosa, dan munafiq/hipokrit). Pendekatan kedua adalah pendekatan institusional, dimana identitas dilihat dari adanya pengakuan / konfirmasi identitas dari institusi yang berwenang. Jadi, seseorang dipandang sebagai orang Islam (Muslim) jika orang tersebut yakin pada keberadaan Allah swt sebagai Tuhan, yakin pada keberadaan Malaikat-Malaikat, yakin pada keberadaan Muhammad saw sebagai utusan Tuhan yang terakhir, yakin pada keberadaan Al Quran sebagai kitab suci terakhir bagi seluruh umat manusia, dan yakin pada keberadaan Qadha dan Qadar (Takdir). Ia juga dipandang sebagai seorang muslim manakala memegang identitas resmi yang menyatakan dirinya sebagai orang Islam.

Identitas kolektif dari orang-orang Islam, biasa disebut dengan istilah Ummah. Konsep Ummah sendiri berasal dari dogma Islam yang tersebut dalam Al Quran, yaitu ummatan waahidah (umat yang satu). Pada awalnya, ummah memiliki dua konotasi, yaitu komunitas atau negara yang terdiri dari orang-orang yang beriman, dan dunia Islam itu sendiri. Para pakar Islam modern sering menggunakan frasa ‘Ummat Islam’ yang ditujukan pada seluruh manusia yang ada di tanah dan negeri-negeri dimana orang Islam dominan tinggal, dan mereka yang berada dibawah kontrol Khilafah Islam. Karena Khilafah Islam tidak hanya terdiri dari orang-orang Islam, maka sebutan Ummah juga mengena pada minoritas non-Muslim. Ketika para ahli ini berbicara mengenai penyatuan ummat Islam, mereka juga memasukkan orang non-Muslim, sebagai warga negara Ummat Islam, yang hidup secara damai dengan penghormatan atas agama-agama mereka.

Global War Against Terrorism dan Imperialisme Budaya Amerika Serikat – Buah Agenda Setting Media Global

Berbicara tentang wacana “war on terrorism”, maka hal ini tidak dapat dilepaskan dari peristiwa tragis di awal abad ke 21 yaitu peristiwa terror terhadap gedung WTC pada 11 September 2001. Banyak pengamat dan intelektual yang menempatkan 9/11 sebagai awal pijakan baru bagi atmosfer politik global di abad ke-21. Hal ini tentunya tidak semata-mata angka korban kematian 3000 jiwa yang diakibatkan oleh penyerangan terror tersebut. Namun nilai fundamental dari 9/11 justru pada transformasi kebijakan luar negeri berbasis kepentingan nasional dari pemerintahan AS sebagai respons terhadap serangan tersebut. Sesaat setelah terjadinya penyerangan tersebut, jajaran pemerintahan Amerika Serikat yang diwakili oleh pernyataan Wakil Presiden Dick Cheney, menguraikan bahwa atas nama mempertahankan kepentingan nasional, akan dimulai sebuah babak awal baru bagi perang terhadap terorisme. Perang berjangka panjang dan tidak akan selesai, setidaknya dimasa kehidupan kita.

Genderang perang terhadap terorisme semakin nyaring ditabuh dan benar-benar menjadi komitmen dari pemerintahan Amerika Serikat, setelah pidato Presiden George W. Bush di West Point pada tahun 2002. Diawali dengan penegasian terhadap motif-motif imperialisme yang dituduhkan oleh banyak kalangan kepada pemerintahannya, George W. Bush menguraikan bahwa Amerika tidak memiliki kepentingan terhadap ekspansi imperialisme ataupun menegakkan rencana utopia tersebut. Namun demikian pernyataan tersebut kemudian dilanjutkan dengan tendensi imperialistic pemerintahan neo-conservative dari Bush. Menurut Bush, bangsa Amerika akan menggunakan posisinya untuk membangun tatanan dunia baru berbasis keterbukaan dimana nilai-nilai progresif dan kebebasan akan menyebar di seluruh bangsa-bangsa di dunia. Tatanan dunia damai berbasis kemerdekaan akan menjaga kepentingan jangka panjang Amerika dan memperkuat tali persatuan antara Amerika dan bangsa-bangsa lain yang akan turut menjaga tatanan dunia tersebut. Lanjut Bush, represi, kemiskinan, dan penindasan akan digantikan dengan harapan akan demokrasi, pembangunan, bersama dengan pasar dan perdagangan bebas. Pernyataan dari George Bush ini kemudian terrealisasikan secara resmi sebagai kebijakan Amerika Serikat dalam dokumen National Defense Strategy (NDS) beberapa waktu kemudian.

Pernyataan Bush tersebut menunjukkan bagaimana pemerintahan neo-conservative dibawah George W. Bush ini menyembunyikan motif imperialistiknya dan “membajak” jargon-jargon demokrasi, kebebasan dan pembangunan untuk melegitimasi proyek imperialistiknya terhadap bangsa-bangsa lain. Beberapa argumentasi akademik (Michael Ignatieff, Max Boot, Samuel P. Huntington, Christopher Hitchen dll) kemudian muncul untuk memberikan dukungan terhadap motif ekspansif dari pemerintahan Amerika Serikat dibawah Bush ini.

Michael Ignatieff (2003) penulis prolific dari surat kabar New York Times dalam artikelnya The Burden , menegaskan bahwa inisiatif pemerintahan Bush untuk mendeklarasikan perang terhadap terorisme merupakan bagian dari proyek imperialisme. Namun demikian Ignatieff mengafirmasi proyek imperial tersebut dengan mengutarakan bahwa Amerika tidak dapat lagi membangun tatanan imperial setengah hati seperti masa-masa sebelumnya. Sekaranglah saatnya bagi AS untuk menyiapkan diri secara serius memerankan dirinya secara permanent menjaga tatanan global bagi kepentingan bangsa ini untuk menjamin kebebasan, persamaan dan demokrasi diseluruh dunia. Proyek imperial inilah kemudian dalam ruang publik dikenal sebagai proyek “Imperialisme Demokratik”. Sebuah proyek imperial yang didorong oleh hasrat-hasrat primitive akumulasi capital dan perluasan hegemoni politik dan diberi pembenar legitimasi intelektual penyebaran gagasan-gagasan demokrasi (Pribadi, A.,2006).

President George Bush Jr dalam pidatonya di depan undangan National Endowment of Democracy dan di hadapan The Ronald Reagan Presidential Library, pada hari Kamis, 6 Oktober 2005 menyatakan

“The militants believe that controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate governments in the region, and establish a radical Islamic empire that spans from Spain to Indonesia.” (http://www.msnbc.msn.com/id/11989895/ diakses 2 Juni 2006)

Bush artinya dengan lantang menyatakan bahwa, konsep Ummah atau identitas kolektif Islam-lah yang kemudian menjadi ancaman paling besar dari proyek Imperialisme Demokratik Amerika Serikat. Hal ini berulang-ulang dinyatakan oleh Bush, Blair, dan Cheney di berbagai kesempatan lain dan juga dikutip oleh banyak sekali media.

Kenyataan bahwa Bush memusuhi Islam-lah yang kemudian menggores cakar pedas ke dalam hati umat Islam di seluruh Dunia, tak terkecuali di Indonesia. Dan invasi Amerika Serikat atas budaya Islam melalui raksasa media memang sesungguhnya sedang terjadi lewat berbagai program Global War on Terror-nya. Zallum (1996) jauh jauh hari sudah menyatakan bahwa media memiliki peran yang sangat penting dalam serangan Amerika untuk menghancurkan Islam. Bahkan, raksasa media, yang selalu beritanya dikutip mentah-mentah oleh media Nasional, pun menjadi pilar keempat bagi serangan ini setelah Geopolitik AS di berbagai negeri Islam, Kepemimpinan AS atas negara kapitalis lain, dan Legitimasi AS melalui lembaga internasional.

“Sarana-sarana media massa internasional yang telah dikuasai oleh AS dan sekutu-sekutunya yang kemudian dijadikan senjata paling mematikan untuk melancarkan serangan. Sarana-sarana itu, selain dimanfaatkan AS untuk menjajakan slogan-slogan yang mereka gunakan dalam serangan ini, telah direkayasa untuk menggambarkan citra buruk mengenai Islm serta membangkitkan rasa benci dan permusuhan dunia terhadap orang-orang yang berpegang teguh pada Islam. Mereka yang konsisten terhadap Islam telah dicap dan dicaci-maki dengan macam-macam predikat seperti: “fundamentalis”, “radikalis”, “ekstrimis”, “teroris”, dan sebagainya. Tidak diragukan lagi, senjata mereka ini sangatlah berbahaya, terutama setelah adanya revolusi komunikasi dan informasi yang berlangsung pada paruh kedua abad ini, sehingga dunia seakan-akan telah berubah menjadi sebuah desa kecil. Akibatnya, hampir tidak ada satu rumah pun di dunia ini yang tidak dimasuki oleh arus informasi, baik informasi yang dapat dibaca maupun yang bersifat audio visual.”

Pembentukan Kembali Identitas Islam di Indonesia, Kesalahan Teori Kritik Budaya?

Saya rasa teori kritik budaya masihlah relevan untuk digunakan. Karena pada muasalnya, teori kritik budaya ini penerapannya hanya pada konteks budaya lokal, atau pembentukan identitas lokal. Sementara identitas lokal bangsa Indonesia memang justru semakin tergerus, dan identitas Islam-lah yang kemudian dipilih untuk digunakan menentang kezaliman imperialisme budaya Barat. Adakah teori yang bisa menjelaskan ini?

Mungkin menyebut teori Huntington tentang Benturan antar Peradaban, akan sangat membosankan. Tetapi, hanya teori ini yang dapat memberikan kerangka global bagi diskursus identitas. Penjelasannya, imperialisme budaya Amerika Serikat sangatlah bersifat ideologis. Peradaban ideologis ini memiliki senjata yang sangat kuat, yaitu institusi pemerintah dan berbagai derivatnya. Sesungguhnya masyarakat telah sadar, bahwa peradaban ideologis dunia hanya dapat dilawan oleh peradaban ideologis dunia yang lain. Tidak mungkin peradaban ideologis dunia yang high context culture, dapat dilawan oleh peradaban lain yang low context culture.

Dialog antar peradaban yang dibangun sebagai counter atas tesis benturan peradaban, tidak akan mewujud manakala kondisi versus antar high context culture tersebut timpang. Sebagai contoh, Kapitalisme, memiliki AS dan sekutu sebagai ujung tombaknya, sementara Islam, tidak memiliki Khilafah Islam sebagai ujung tombak yang lain. Maka tesis benturan antar peradaban ini sangatlah mungkin untuk menjelaskan fenomena yang kini sedang terjadi, dan bisa jadi tesis benturan peradaban ini tidak akan pernah berakhir.

Ada dua teori pendukung yang dapat menjelaskan lebih detail tentang , yang pertama adalah teori alienasi dan kesadaran kelas, dan kedua adalah teori interkultural standpoint.

Alienasi dan Kesadaran Kelas

Alienasi adalah proses dimana rakyat menjadi terasingkan dari dunia dimana mereka hidup. Konsep alienasi ini melekat secara mendalam dalam seluruh agama besar dan teori sosial politik di generasi yang beradap. Konsepnya adalah, bahwa pada suatu waktu di masa lalu, rakyat hidup dalam harmoni, dan kemudian muncul semacam keterputusan (rupture) dimana kemudian membuat orang lain serasa asing di dunianya. Akan tetapi pada waktu yang lain di masa depan, alienasi ini akan dapat diatasi dan kemanusiaan akan kembali hidup dalam harmoni itu sendiri dan bersama Alam (Mészáros, István. 1970).

Dalam konsepsi Marx, alienasi yang awalnya dikembangkan oleh Hegel ini akan merubah kesadaran masyarakat tentang kelas. Konsep kesadaran kelas yang memicu perjuangan kelas merupakan metode perubahan Sosialisme Marx atas Kapitalisme Klasik. Kesaran Kelas dalam konsep Marx adalah kesadaran akan keberadaan dirinya dilihat dari sudut pandang bagaimana orang memproduksi dan juga mengkonsumsi suatu produk.

Kita coba untuk menginduksikan kesadaran kelas ini pada kesadaran kepemilikan cara produksi media. Pada kenyataannya, sumber media di Indonesia seringkali adalah dari media global. Dan seringkali produk media tersebut disiarkan kembali dengan mentah-mentah kepada khalayak Indonesia. Sementara itu, produk media Barat sendiri sangat menusuk harga diri ummat Islam. Kesadaran bahwa ummat Islam dialienasi dalam hal produksi dan konsumsi media, menjadikan mereka bangkit, dan bergerak melawan kezaliman imperialisme budaya Barat dengan mengusung identitas Islam.

Dan ummat Islam menginginkan agar mereka pun mampu membuat berbagai counter opinion, salah satunya melalui media massa. Berbagai jalan bisa dipilih, meski kemudian belum bisa menyaingi keberadaan media global. Bahkan Al Jazeera TV yang berpusat di Qatar, pun belum bisa mengalahkan dominasi media global milik kaum Kapitalis Barat.

Standpoint

Teori ini menjelaskan bahwa pengalaman individu, pengetahuan, dan perilaku komunikasi sebagian besar dibentuk oleh kelompok sosial dimana mereka aktif (Wood, J. T.,1982 dalam West, R., & Turner, L. H., 2000). Dari sinilah kita dapat menarik kerangka tentang sistematika pengaruh kekuatan pembentuk identitas.

Secara kultural, bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan dan masa awal kemerdekaan adalah bangsa yang guyub. Keguyuban ini pun terbawa pada kolektif-kolektif komunitas Islam. Kita mengenal adanya komunitas pesantren NU, dan Muhamadiyyah pada masa sebelum kemerdekaan. Setelah kebijakan Soeharto di era tahun 1980-an yang lebih dekat dengan Islam, dan komunitas kolektif Islam menjadi semakin menjamur. Dan semakin banyaknya komunitas kolektif inilah yang kemudian banyak sekali mempengaruhi kehidupan warga Indonesia yang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh media global telah tereduksi oleh keberadaan dan pengaruh komunitas kolektif yang memiliki high context culture.

Semangat warga Indonesia untuk kembali menggunakan Identitas Islam untuk melawan kezaliman Barat ternyata dipengaruhi oleh keberadaan media global milik Kapitalis Barat. Teori Imperialisme Budaya menjelaskan, bahwa media global tersebut telah menciptakan kondisi pemusnahan secara perlahan dan sistematis atas budaya ummat Islam di seluruh dunia. Sementara Teori Kritik Budaya memperlihatkan bahwa, sebenarnya memang media global telah menjadi alat yang dikontrol hanya oleh sebagian kecil (elit Barat) yang berkuasa, seperti Time Warner, Disney, Bertelsmann, Viacom, dan Rupert Murdoch News Corporation.

Identitas Islam sendiri biasa diungkapkan melalui rukun iman dan dokumen legal. Dan citraan ini telah dimanipulasi (tailoring) oleh media global melalui agenda global war on terrorism pasca tragedi 11 September 2001. Selain itu, publik Indonesia juga merasa perlu untuk menghentikan kezaliman Kapitalisme global. Maka kemudian digunakanlah identitas Islam sebagai identitas yang high context culture. Karena untuk mengalahkan Kapitalisme global yang high context culture, identitas menjadi tandingan juga harus merupakan identitas high context culture. Meski kemudian dipahami, bahwa identitas ini tidak akan berarti apa-apa selama belum terinstitusionalisasikan melalui metode keummatan atau Khilafah Islam.

Benturan peradaban bisa jadi memang yang sedang terjadi antara Islam dan Kapitalisme Barat. Karena, melalui teori alienasi dan kesadaran kelas, kita mendapati bahwa warga Islam di Indonesia, dan di dunia sebenarnya telah teralienasikan dari Islam itu sendiri, dan kemudian diformat ulang agar menjadi sama dengan format pengendali media global Kapitalis. Kesadaran akan alienasi dan kesadaran akan timpangnya sumberdaya untuk melawan Kapitalisme di tataran media global (kesadaran kelas), kemudian mempengaruhi tindakan mereka untuk bergerak melalui cara-cara seperti pengorganisasian massa, dan aksi turun jalan dengan menggunakan identitas politik Islam.

 

Baca Selengkapnya......

Efek Media Massa dalam Politik


Psikologi sosial sebagai cabang ilmu psikologi mempelajari bagaimana individu dipengaruhi orang lain. Televisi, yang bisa menampilkan atau tampil sebagai ‘orang lain’ juga memiliki pengaruh pada pikiran, perasaan dan perilaku kita. 

Pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung yang pertama kali terjadi di bumi Indonesia menjadi agenda utama media-media baik cetak maupun elektronik. Beberapa stasiun televisi berlomba-lomba menghadirkan informasi sebanyak dan seaktual mungkin. Mulai dari acara talk show, debat kandidat, dialog, atau poling sms.

Fenomena ini merupakan gambaran dari peran penting media dalam suatu pemilihan umum (election) seperti dikemukakan oleh Oskamp & Schultz (1998), yakni memusatkan perhatian pada kampanye, menyediakan informasi akan kandidat dan isu seputar pemilu. Pertanyaan besar yang sering dilemparkan ialah, bagaimana media mempengaruhi wawasan politik, sikap dan perilaku masyarakat?

Meskipun tidak semua orang setuju dengan model dan gaya yang ditampilkan media televisi atau media cetak, namun tercatat empat pengaruh media dalam politik bagi masyarakat yaitu (a) penambahan informasi, (b) kognitif, (c) perilaku memilih, (d) sistem politik.

Penambahan informasi

Hampir sebagian besar orang dewasa menyatakan bahwa mereka mendapatkan hampir seluruh informasi tentang berbagai peristiwa dunia maupun nasional dari media massa. Secara umum, studi telah menunjukkan bahwa masyarakat yang banyak mengkonsumsi media biasanya memiliki pengetahuan yang lebih baik dan aktual daripada yang tidak atau kurang memanfaatkan media. Namun hal ini lebih berlaku untuk media cetak ketimbang televisi.

Kelemahan media televisi ada pada kecenderungannya untuk lebih menyorot hal-hal yang ‘menghebohkan’, seperti huru-hara saat demonstrasi, reaksi elemen masyarakat terhadap kandidat tertentu, dan sebagainya. Kecenderungan ini akhirnya mengabaikan substansi isu politik itu sendiri. Fenomena ini, jauh-jauh hari telah ditegaskan oleh Patterson & McClure (1976, dalam Oskamp & Schultz,1998), “Network news may be fascinating. It may be highly entertaining. But it simply not informed."

Selain itu, media televisi juga memiliki kapasitas terbatas untuk menghadirkan ulasan-ulasan yang mendalam, berbeda dengan media cetak yang bisa menampilkan berbagai tulisan sehingga pembaca bisa menyimaknya berkali-kali, bahkan berhenti sejenak untuk merenung atau diskusi dengan pembaca lain tanpa khawatir artikel tersebut akan ‘hilang’. Bandingkan dengan televisi, pemirsa tidak bisa ‘menghentikan’ tayangan untuk memberi waktu otaknya berpikir apalagi merenung. Meski demikian, tidak berarti televisi tidak pernah memberikan kontribusi dalam pemilihan umum. Buktinya di Amerika, dalam suatu studi tahun 1992 telah menunjukkan bahwa tayangan debat Clinton – Bush – Perrot, telah meningkatkan informasi tentang kandidat dan pandangan atau prinsip-prinsip yang dianut bagi para pemilih dalam pemilu tersebut.

Efek Kognitif

Media memiliki kemampuan untuk ‘mengatur’ masyarakat, not what to think, but what to think about. Penjelasan pada kalimat yang ‘indah’ ini ialah media cenderung mengarahkan masyarakat memikirkan hal-hal yang tersaji dalam menunya, bukan apa yang sebenarnya terjadi di sekitar masyarakat itu sendiri. Saat media A berbicara tentang Inul, merembet pada media lain, masyarakat pun ikut terlena didalamnya. Masalah kebanjiran yang menjadi langganan Jakarta pun tidak lagi terlalu mengusik, hingga tiba saat kondisi riil musibah itu.

Perhatian masyarakat cenderung lebih dipengaruhi gambaran media daripada situasi nyata dunia. Contoh lain, semakin banyak media yang mengusung dan mengemas berita kriminal, masyarakat mungkin saja menjadi yakin bahwa ada suatu gelombang kejahatan, tanpa perlu lagi memastikan atau mencari tahu informasi sebenarnya apakah kejahatan memang meningkat, menurun atau konstan. Oleh kareena itulah, materi dalam media dapat menentukan ‘agenda publik’, yaitu suatu topik yang menjadi perhatian atau minat masyarakat serta mencoba untuk direspon.

Perilaku memilih

Secara luas, media lebih cenderung menguatkan tujuan-tujuan yang ada dalam pemungutan suara daripada merubahnya. Seperti telah disinggung diawal bahwa peran utama media dalam suatu pemilihan umum ialah menfokuskan perhatian masyarakat pada kampanye yang sedang berlangsung serta berbagai informasi seputar kandidat dan isu politik lainnya. Walaupun mungkin tidak memberi dampak langsung untuk merubah perolehan jumlah suara, namun media tetap mampu mempengaruhi banyaknya suara yang terjaring dalam suatu pemilu.

Menurut Noelle-Newman (1984,1992, dalam Oskamp & Schulz,1998), secara implisit, masyarakat membuat suatu penilaian terhadap pihak maupun cara yang ditempuh untuk memenangkan pemilihan, atau isu-isu panas yang diperdebatkan. Penilaian personal yang dipengaruhi kuat oleh media ini diam-diam bisa berdampak pada pengurangan jumlah suara bagi pihak yang kalah. Ulasan dini seputar pemilu atau laporan berdasarkan survei secara random dapat memperkuat penilaian masyarakat, terutama tentang siapakah yang akan menjadi pemenang dan mendorong terbentuknya ‘spiral silence’ diantara pihak yang merasa kalah atau menjadi pecundang.

Dan terlalu yakin jika poling-poling sms di berbagai stasiun televisi tidak memiliki dampak apa-apa, setidaknya besarnya angka poling pada pihak A, akan mengusik atau menciutkan hati pihak B, atau lainnya. Masyarakat yang mengidolakan atau akan memilih capres-cawapres C misalnya, ‘mau nggak mau dipaksa untuk ‘meringis’ tatkala melihat jagonya berada di urutan buncit dalam poling sms, meski hampir semua percaya bahwa itu bukan representasi masyarakat Indonesia.

Efek dalam sistem politik

Televisi telah merubah wajah seluruh sistem politik secara luas dengan pesat. Media ini tidak hanya mempengaruhi politik dengan fokus tayangan, kristalisasi atau menggoyang opini publik, namun secara luas berdampak pada para politisi yang memiliki otoritas dalam memutuskan kebijakan publik.

Media, dengan publisitas, pemasangan iklan dan ulasan beritanya, juga memiliki kemampuan yang kuat untuk secara langsung mempengaruhi meningkatnya jumlah dana dalam suatu kampanye politik. Begitu penting dan besarnya peran berita atau ulasan-ulasan media dalam suatu pemilihan umum, maka baik staf maupun kandidat politik sebenarnya telah menjadi media itu sendiri.

Kontrol Masyarakat

Begitu besar pengaruh dan peran media dalam perpolitikan, hendaknya dimanfaatkan secara bijaksana. Terkadang seorang tokoh atau pihak tertentu yang masih bermasalah di masa silam atau kini nampak begitu kemilau dan tiba-tiba bersih sehingga masyarakat pun lengah dengan kepahitan yang pernah ada. Terus berputar pada masa lampau juga tidak akan mencerahkan bangsa ini, namun melupakan masa lalu juga bukan syarat bagi perbaikan diri, terlebih suatu bangsa.

Kontrol masyarakat untuk selalu melihat segala sesuatu dengan proposional, kritis dan obyektif sangat lah diperlukan. Hendaknya media juga mendorong masyarakat untuk melakukan critical control, sehingga terjalin kerjasama yang benar-benar secara positif membawa manfaat dan kontribusi bagi kedua belah pihak : pihak media massa dan terutama, pihak masyarakat.

 

Baca Selengkapnya......

Peran Media Komunikasi Modern (TV) sebagai Sarana untuk Menghancurkan


berikut ini saya akan sampaikan tentang komunikasi modern dan implikasinya. karena dunia komunikasi tidak bisa dipisahkan dengan tekhnologi informasi....
1. Pengertian Komunikasi

Van Doorn & Lammers menyatakan komunikasi adalah merupakan sebagai sebuah tindakan, ia menganalisis komunikasi dari dua sisi yaitu sisi individu dan sisi sosial. Dari sisi individu ia membagi komunikasi menjadi yang bertipe obyektif (dari luar) yang melahirkan kegiatan dan cara tindak dan subyektif (dari dalam) yang melahirkan proses-proses psikis dan sikap. Sedangkan dari sisi sosial ia membagi komunikasi obyektif yang melahirkan interaksi dan relasi sosial, serta subyektif yang melahirkan komunikasi dan hubungan sosial.

Koncaid & Schramn menyatakan komunikasi sebagai sebuah proses, artinya komunikasi merupakan proses berbagi/menggunakan sebuah informasi secara bersama dan pertalian antara para peserta dalam proses informasi tersebut dinamakan komunikasi. Ciri adanya proses komunikasi menurutnya adalah : Harus ada 2 pihak atau lebih, dan ada proses berbagi informasi, sehingga harus selektif dalam memilih alat komunikasi dan memilih pola yang sesuai untuk menggambarkan pikiran. Lebih jauh ia menyatakan bahwa langkah-langkah dalam sebuah proses komunikasi adalah menciptakan informasi, menyampaikan informasi tersebut, memperdalam perhatian, menafsirkannya, memahaminya lalu melaksanakan, serta timbulnya pengertian bersama.

Adapun Berlo menyatakan komunikasi sebagai cara mempengaruhi orang lain. Komunikasi bermaksud mempengaruhi org lain, dimana unsur komunikasi menurutnya adalah adanya Source (sumber), Message (pesan), Channel (saluran), Receiver (penerima), dan Effect (akibat). Lebih jauh ia memberikan ilustrasi bahwa seorang dokter yg mendiagnosa pasien, maka ia bertindak sbg sebuah source, pasien sbg receiver, message-nya adalah masalah kesehatan, channel-nya adalah udara (karena merupakan pola komunikasi primer), dan effect-nya adalah perubahan sikap dari sang pasien tsb.

2. Tipe Komunikasi dan Jaringan Komunikasi

Dalam ilmu komunikasi, tipe komunikasi menurut Edward Sapir dibagi menjadi tipe komunikasi primer dan sekunder. Tipe komunikasi primer bersifat langsung, face to face baik dengan menggunakan bahasa, gerakan yg diartikan secara khusus ataupun aba2. Tipe komunikasi ini bisa berbentuk pertemuan (inter-personal), kelompok (kuliah) maupun massa (tabligh akbar). Betapapun besarnya, pengaruh komunikasi jenis ini tidak dapat melalui sebuah wilayah geografis yg sangat sempit dan terbatas. Sementara tipe komunikasi sekunder adalah komunikasi yg menggunakan alat, media seperti menggunakan surat (inter personal), menonton pagelaran nasyid (kelompok), maupun media koran atau TV (massa), yg berfungsi untuk melipatgandakan penerima, sehingga dpt mengatasi hambatan geografis dan waktu.

Jaringan komunikasi terdiri dari jaringan komunikasi tradisional (Lama), dan jaringan komunikasi modern (Baru) Pola komunikasi lama/tradisional, cirinya adalah berlangsung secara tatap-muka sehingga terjelma hubungan interpersonal yg mendlm, hubungan dg status yg berbeda (patron-client), serta pemberi pesan dinilai oleh penerima berdasarkan identitasnya (siapa bicara, bukan apa isinya). Sementara jaringan komunikasi modern, cirinya adalah adanya inovator (penggagas, pencipta media), dan melalui media massa.


3. Media Komunikasi Modern (TV) sebagai Alat untuk Menghancurkan Sebuah Generasi.

Pakar komunikasi Rogers & Shoemaker menyatakan bahwa komunikasi adalah proses pesan yg disampaikan dari sumber kepada penerima. Komunikasi yg menyebar melalui media massa akan memiliki dampak vertikal (mengalami taraf internalisasi/penghayatan) apalagi jk para tokoh (opinion-leaders) ikut menebarkannya. Sementara pakar komunikasi lain, Lazarfield menyatakan bahwa jalannya pesan melalui media massa akan sangat mempengaruhi masyarakat penerimanya.

Peran merusak dari media komunikasi modern, khususnya TV terhadap sebuah generasi menurut penulis dapat dilihat dari dua aspek sbb :

Ø Aspek kehadirannya : Terjadinya perubahan penjadwalan kegiatan sehari2 dalam keluarga muslim dan muslimah. Sebagai contoh adalah, waktu selepas maghrib yang biasanya digunakan anak2 muslim/ah untuk mengaji dan belajar agama berubah dengan menonton acara2 yang kebanyakan tidak bermanfaat atau bahkan merusak. Sementara bagi para remaja dan orangtua, selepas bekerja atau sekolah dibandingkan datang ke pengajian dan majlis2 ta’lim atau membaca buku, kebanyakan lebih senang menghabiskan waktunya dengan menonton TV. Sebenarnya TV dapat menjadi sarana dakwah yang luarbiasa, sesuai dengan teori komunikasi yang menyatakan bahwa media audio-visual memiliki pengaruh yang tertinggi dalam membentuk kepribadian seseorang maupun masyarakat, asal dikemas dan dirancang agar sesuai dengan nilai2 yg Islami.

Ø Aspek Isinya : Berbicara mengenai isi yang ditampilkan oleh media massa diantaranya adalah mengenai penokohan/orang2 yang diidolakan. Media massa yang ada tidak berusaha untuk ikut mendidik bangsa dan masyarakat dengan menokohkan para ulama ataupun ilmuwan serta orang2 yang dapat mendorong bagi terbangunnya bangsa agar dapat mencapai kemajuan (baik IMTAK maupun IPTEK) sebagaimana yang digembar-gemborkan, sebaliknya justru tokoh yang terus-menerus diekspos dan ditampilkan adalah para selebriti yang menjalankan gaya hidup borjuis, menghambur2kan uang (tabdzir) jauh dari memiliki IPTEK apalagi dari nilai2 agama. Hal ini jelas demikian besar dampaknya kepada generasi muda dalam memilih dan menentukan gaya hidup serta cita2nya dan tentunya pada kualitas bangsa dan negara. Produk lain dari GF yang menonjol dalam media TV misalnya, adalah porsi film2 yang Islami yang hampir2 boleh dikatakan tidak ada, 90% film yang diputar adalah bergaya hidup Barat, sisanya adalah film nasional (yang juga meniru Barat), lalu diikuti film2 Mandarin dan film2 India. Hal ini bukan karena tidak adanya film2 yg islami atau kurangnya minat pemirsa thd film2 islami, karena penayangan film “the messageâ€Â misalnya menimbulkan animo yg luar-biasa dikalangan masyarakat atau film seperti “Children of Heavenâ€Â mampu mendapatkan award untuk film anak budaya terbaik dunia. Tetapi masalahnya memang lebih karena tidak adanya political-will dikalangan pengelola stasiun TV yg ada.


4. Penutup

Terakhir, perlu diketahui bahwa penjajahan melalui media komunikasi adalah jauh lebih jahat dan berbahaya dari penjajahan fisik. Dari sisi biaya, peperangan fisik membutuhkan biaya yg sangat mahal, sementara peperangan media hanya membutuhkan biaya yg murah dan bahkan dapat dikembalikan (melalui iklan). Dari sisi persenjataan yg digunakan, peperangan fisik menggunakan berbagai senjata canggih yg mahal dan berat, sedangkan peperangan media cukup menggunakan film2, diskusi topik dan iklan. Dari sisi jangkauan, peperangan fisik hanya dibatasi di front2 pertempuran saja, sementara penjajahan media bisa sampai ke setiap rumah

jauh di pelosok2 dan di pedalaman. Terakhir dari sisi obyek, dlm peperangan fisik obyek merasakan dan mengadakan perlawanan, sementara melalui peperangan media obyek sama sekali tidak merasa dan bahkan menjadikan penjajahnya sebagai idola. Maka menghadapinya, hanya sebagian kecil orang yg dirahmati ALLAH SWT sajalah yg mampu bersikap mawas, lalu berdisiplin melakukan filterisasi serta terus berjuang membebaskan masyarakat dari makar yg luar-biasa hebatnya ini, Maha Benar ALLAH SWT yg telah berfirman : “DAN SUNGGUH MEREKA ITU TELAH MEMBUAT MAKAR YG AMAT BESAR, DAN DISISI ALLAH-LAH (BALASAN) MAKAR MEREKA ITU. DAN SESUNGGUHNYA MAKAR MEREKA ITU HAMPIR-HAMPIR DAPAT MELENYAPKAN GUNUNG-GUNUNGPUN (KARENA BESARNYA).â€Â (Ibrahim, 14:46). Maka ambillah pelajaran wahai orang2 yg berakal…

 

Baca Selengkapnya......

Peran Positif dan Negatif Media Massa dalam Pandangan Rahbar


Dewasa ini media massa dunia, baik cetak, audiovisual maupun vediovisual, termasuk pula internet, memiliki peran menentukan dalam kehidupan manusia 

Hanya saja peran penting media massa dunia ini bukan bukti kepositifan mereka semua. Para pakar dan ahli dalam masalah ini menyampaikan banyak kritik terhadap kinerja sejumlah media massa dan membeirkan usulan-usulan untuk memperbaiki peran mereka di tengah masyarakat. Pidato Ayatullah Udhma Sayid Ali Khamenei, Rhabar Revolusi Islam Iran, dalam pertemuan dengan sejumlah direktur dan para penyusun program media massa dari berbagai negara dunia, juga mengupas masalah ini. Seraya menekankan pengaruh luas media massa terhadap rakyat, beliau menilai garis kebijakan dan kinerja media massa Barat tidak sesuai. Beliau pun mengajukan petunjuk-petunjuk untuk mencapai iklim yang sesuai dunia media massa.

Beberapa hari lalu, dalam pertemuan dengan para peserta festifal internasional program-program radio, Rahbar Revolusi Islam berbicara tentang sebab pentingnya media massa di dunia kontemporer. Beliau berkata, “Dewasa ini media massa dunia telah mampu menanamkan pikiran, kebudayaan, perilaku, dan pada hakekatnya, identitas kebudayaan manusia; dan sangat menentukan.”

Akan tetapi, oleh karena pengaruhnya yang sedemikian luas, maka fasilitas untuk menjalin hubungan massal ini dapat memainkan perannya yang positif dan konstruktif, dapat pula memberikan perannya yang negatif dan destruktif. Berkaitan dengan masalah ini, Sayid Ali Khamenei berkata, “Media massa dapat berperan dalam meningkatkan kondisi hidup manusia dan menyebarkan persamaian serta keamanan di dunia. Mereka ini mampu memperkuat nilai-nilai akhlak dan spiritual di tengah umat manusia, dan menghantarkan manusia menuju kebahagiaan. Sebaliknya, media massa juga dapat dijadikan sebagai alat pengobar perang dan menyebarkan perilaku dan kebiasaan buruk di tengah rakyat luas. Ia juga dapat memusnahkan identitas berbagai bangsa, dan menghidupkan semangat rasialisme.”

Melihat berbagai realitas yang ada di dunia media massa, sejumlah besar bangsa, terutama mereka yang berpikiran luas dan memiliki jiwa merdeka, mengkritik kinerja berbagai massa dunia yang berkuasa di dunia. Kondisi media massa, sebagaimana kondisi umum dunia, penuh dengan rasialisme dan ketidakadilan. Hak milik media-media massa besar dan berpengaruh, berada di tangan para pemilik kekuatan dan kekayaan, dimana garis-garis kebijakan kerjanya ditentukan oleh para pencari keuntungan dan negara-negara imprialis. Sebaliknya negara-negara berkembang memiliki kekuatan media massa yang lebih kecil dan pengaruh mereka terhadap iklim propaganda dunia sangat terbatas.

Melihat realitas ini, Ayatullah Udhma Sayid Ali Khamenei menilai kondisi media massa dunia tidak menggembirakan. Beliau berkata, “Hari ini jalan media massa dan komunikasi tidak bersifat dua arah atau beberapa arah, tapi satu arah. Artinya, hanya yang disukai oleh para pemilik kekuatan media dan imperium media massa sajalah yang terrefleksikan ke seluruh pelosok dunia, dengan menggunakan ilmu dan teknologi moderen.”

Bisa dipastikan, bahwa para pemegang kekuatan dan para investor kelas kakap dunia, hanya mengincar kepuasan diri sendiri dan sangat sedikit memperhatikan dasar-dasar kemanusiaan dan moral. Berkenaan dengan ini, Rahbar Revolusi Islam berkata, “Hari ini imperium media massa dunia, hampir sepenuhnya berada di bawah monopoli mereka yang tidak menghormati kemuliaan akhlak, agama, iman, spiritual dan perdamaian di dunia ini. Para penguasa media massa dunia ini pula yang memiliki pabrik-pabrik terbesar produsen senjata. Bom-bom atom yang paling destruktif berada di tangan mereka atau berhubungan dengan mereka. Politik-politik imperialistis merupakan bagian dari pekerjaan mereka sehari-hari.”

Sekilas perhatian kepada kinerja dan metode kerja berbagai media massa besar dunia akan menunjukkan bahwa dengan sangat mudah mereka mampu menampilkan sebuah persoalan kecil menjadi permasalahan besar, bahkan sesuatu yang tidak riil mereka tampilkan sebagai realitas dan mereka besar-besarkan. Sebaliknya mereka juga mengabaikan sebuah peristiwa besar dan tidak pernah memberitakannya sehingga cepat terlupakan. Rahbar revolusi Islam membawakan beberapa contoh kinerja media massa tersebut dengan mengatakan, “Perhatikanlah politik dan cara kerja media massa dunia. Kemaslahatan mereka menuntut pemberian stigma teroris kepada Islam, dan sebaliknya, menampilkan AS sebagai lambang demokrasi dan HAM. Pekerjaan ini dilakukan dengan mudah dan dengan cara-cara rumit serta sangat moderen propaganda.”

Sayid Ali Khamenei melanjutkan, “Tiba-tiba dunia penuh dengan berita bahwa Iran tengah berusaha menciptakan bom nuklir. Mereka sendiri yang mengobarkan propaganda ini tentu mengetahui bahwa semua itu adalah bohong. Akan tetapi interes dan kepentingan menejemen imperium media massa dan dunia informasi menuntut hal itu. Dalam masalah Palestina, ketika sebuah bom meledak dan sejumlah warga zionis terluka karenanya, maka peristiwa ini mereka beritakan sebagvai sebuah tragedi besar di dunia. Sebaliknya, pembunuhan massal yang tiap hari terjadi di Palestina oleh tentara rezim zionis, dan pernyataan resmi teror terhadap para pemimpin dan aktifis Palestina oleh para pejabat Israel, didiamkan dan tidak dimuat sama sekali oleh media massa mereka.”

Rahbar Revolusi Islam menilai peran media massa seperti ini bukan hanya negatif, tapi juga tidak sesuai dengan kebebasan dan berlawanan dengan kemerdekaan. Pada akhirnya pun masyarakat luaslah yang merugi akibat kinerja mereka ini. Sebaliknya beliau meyakini, jika di tingkat internasional, menejemen dan penyusunan program dilakukan berdasarkan standar-standar moral, keutamaan, kesetaraan dan bersandar kepada nilai-nilai kemanusiaan, maka seluruh umat manusia akan mendapatkan keuntungan dan manfaat yang besar.

Pada dasarnya, salah satu tujuan media massa besar dunia sata ini ialah menjauhkan seluruh bangsa dari realitas dan kenyataan sebenarnya yang berlaku di dunia ini. Dengan cara ini mereka berusaha mengendalikan dan membentuk opini umum warga di setiap negara, sesuai dengan kehendak mereka. Sebagai contoh, media-media massa Barat selalu berusaha menampilkan rakyat Iran dengan tampilan yang tidak benar dan tidak riil di mata warga Eropa dan Amerika. Berkenaan dengan masalah ini, Rahbar Revolusi Islam berkata,

“Kalian lihatlah, jika saat ini rakyat AS mendengar langsung pandangan-pandangan bangsa Iran tentang masalah-masalah penting di dunia saat ini, baik tentang HAM, demokrasi agama, peran perempuan dalam kehidupan sosial, pandangan Islam tentang perempuan, maka akan terjadi perubahan-perubahan penting di dunia ini. Sejumlah besar kesalahpahaman akan terhapus, banyak persoalan yang akan terselesiakan.”

Kemudian Rahbar Revolusi Islam mengambil kesimpulan dari semua itu dengan mengatakan bahwa hari ini, dengan menyalahgunakan pengaruh media massa, para pejabat politik telah menjerumuskan rakyat mereka sendiri ke dalam kebodohan. Celakanya mereka ini justru mengambil untung dari kebodohan rakyatnya, termasuk dengan mengatasnamakan rakyat untuk melakukan banyak perbuatan mereka yang destruktif.

Singkatnya, dapat dikatakan bahwa jika dasar-dasar moral dan kemanusiaan serta nilai-nilai spiritual, berlaku secara efektif dalam sistim dan kinerja media massa dan informasi, maka dunia ini akan dipenuhi dengan suasan yang jauh lebih baik, hubungan antara satu bangsa dengan bangsa lain akan lebih mesra, peluang munculnya peperangan pun akan semakin menyempit, hasilnya dunia akan penuh dengan suasana aman dan tentram.

 

Baca Selengkapnya......

Sederhana tapi Kreatif


KESEDERHANAAN bukanlah ketertinggalan. Itulah yang juga berusaha dibuktikan oleh siswa-siswi Qaryah Thayyibah (QT). 

arena itu, mereka juga menempatkan internet sebagai salah satu kebutuhan utama, meski tak mau disebut tergantung.

Mulanya, 12 siswa angkatan pertama QT memulai kebiasaan berinternet itu. Mereka menyisihkan uang jajan untuk menabung sebelum akhirnya mampu membeli komputer. "Rata-rata para siswa mengantongi uang Rp 3.000. Uang saku tersebut sengaja disamakan dengan rata-rata kebanyakan anak yang bersekolah di Kalibening," kata Ahmad Bahruddin, penggagas QT.

Namun, bagi anak-anak QT, Rp 3.000 itu cukup banyak. Mereka tak perlu mengeluarkan ongkos transportasi. Karena itu. sebagian bisa ditabung.

Pertama kali, Bahruddin akan menghitung berapa rupiah yang dibutuhkan anak-anak untuk membeli sebuah unit komputer. Katakanlah Rp 2 juta, maka anak-anak ditarget menyisihkan Rp 1.000 setiap harinya.

Menurut dia, anak-anak lantas akan menabung bersama-sama untuk membeli komputer. Komputer pertamanya mampu dibeli dalam jangka waktu tiga bulan. Jadi, tegas dia, jangan heran apabila melihat rumah-rumah dengan kandang sapi juga memiliki komputer.

Alokasi Rp 2.000 dari uang saku kembali pada asupan gizi siswa, termasuk makanan dan buku. Gizi yang berhubungan dengan asupan tubuh dikedepankan pula oleh QT. Dana Rp 1.000 setiap siswa, apabila dikumpulkan, dapat diolah menjadi makanan dan minuman bergizi. Bahruddin menyebutkan salah satunya adalah susu madu. "Sebagaian uang yang terkumpul untuk membeli susu dan madu. Kami tinggal memasaknya dan anak-anak bebas minum. Bergizi toh," ungkapnya.

Begitu juga dengan buku. Walau menurut Bahruddin koleksi buku mereka belum banyak, namun pria gondrong tersebut tak mengelak apabila para siswanya enggan lepas dari buku. Tapi, internetlah yang membikin siswanya kecanduan informasi. Maklum, di rumah Bahruddin, para siswa dapat mengakses internet bebas selama 24 jam.

Di luar semua usahanya tersebut, bapak tiga anak itu tak membantah apabila sering terdapat kesulitan dan hambatan. Datangnya beragam, termasuk dari keraguan masyarakat. "Tapi kami menggunakan strategi pro-active, bukan re-active. Kami selalu berpositif thinking," tegasnya.


Apabila terdapat kesulitan QT selalu mencari sumber daya yang tersedia yang dapat dioptimalkan. Misalnya tak ada meja kursi, bisa melakukan pembelajaran sambil lesehan. Tak ada dana besar untuk membayar listrik, maka semaksimal mungkin proses pembelajaran dilakukan di siang hari.

Diakui Bahruddin, ada satu dua yang merasa tak cocok dan memutuskan keluar. "Mungkin yang diutamakan masih soal ijazah. Sedang bagi kami, ijazah bukanlah segalanya," katanya.
Dia mendidik para buah hatinya, tegas dia, bukan untuk membekali dengan selembar ijazah yang digunakan untuk mencari pekerjaan. Dia ingin siswa QT dapat mandiri dan menciptakan pekerjaan.

 

Baca Selengkapnya......

Sunday, June 3, 2007

Kartun dan Karikatur dalam Pers


KARIKATUR atau kartun tidaklah sketsa yang dijelek-jelekkan dan bukan pula sekedar coretan yang dilebih-lebihkan. Karikatur bukanlah pula hanya sketsa yang karikatural, tetapi teks yang ingin menyampaikan hal yang aktual  

Menurut Prof. Imam Buchori Zainuddin, salah seorang dosen FSRD ITB, kartun adalah gambar, yang melukiskan adegan tentang perilaku manusia dengan berbagai kiprahnya dalam kehidupan sosial, baik diungkapkan secara simbol atau representasional dengan cara-cara humor, atau cara-cara yang satiris.

Bahkan Erich Kaestner, seorang sastrawan Jerman termasyur, menilai kartun memiliki daya ekspresi yang luar biasa. Sebagai sarana non-aksara, Kaestner menganggap kartun memiliki unsur cerpen.

Kartun adalah pula sebuah bentuk wacana atau berita pikiran tentang "sesuatu". Dengan simbol-simbol yang bercorak sinekdote - memperlihatkan sebagian untuk mengatakan keseluruhan - dan tentu saja, karikatural berita - pikiran yang disampaikan tak lain daripada sebuah ajakan berdialog yang intens dengan kekuasaan, masyarakat umum atau dengan siapa saja.

Simbol-simbol karikatural yang dengan kreatif menonjolkan unsur-unsur yang lucu dan di luar kebiasaan itu bukan saja memberikan kebebasan bagi sang kartunis untuk menyampaikan berita - pikirannya tetapi juga secara cerdik mengalihkan daya tusuk dari dialog yang intens tersebut. Dengan begini, maka yang getir dan pahit dapat disampaikan sebagai keanehan yang lucu saja.

Jadi kartun haruslah dipahami sebagai media yang dipakai oleh kartunis untuk menangkap dan menafsirkan berbagai keprihatinan yang hidup dalam masyarakat.

Menurut sejarah, "Cartoon" lahir sejak abad pertengahan seiring dengan semangat humanisme yang meletakkan manusia sebagai objek dan subjek untuk mengenal berbagai hakekat kehidupan.

Karikatur sendiri diketahui berasal dari bahasa Itali "caricare", yang berarti memuat atau menambah muatan secara berlebihan.

Dengan kata lain, karikatur adalah reformasi lebih atas objek yang terkenal dengan cara mempercantik dari ciri yang paling menonjol atas objek tersebut. Dengan demikian, karikatur yang baik sudah bisa dipastikan mempunyai kadar humor, estetika dan yang paling penting sarat nilai kritik.

Dan kritik karikatur sebenarnya hanya usaha penyampaikan masalah aktual ke permukaan, sehingga muncul dialog antara yang dikritik dan yang mengkritik, serta dialog antara masyarakat itu sendiri, dengan harapan akan adanya perubahan.

Pahit tapi positif

Dewasa ini kartun dan karikatur telah merambah jauh, selain untuk kritik sosial, juga untuk media pendidikan anak dan berbagai program sosialisasi, untuk maksud promosi dan komunikasi.

Tak pelak lagi, kartun dan karikatur pun akhirnya memasuki persoalan susila atau tidak susila yang merupakan sukma utama dari kesenian pada umumnya. Melalui kartun kita dapat menyampaikan kritik yang langsung sampai pada sasaran, tapi tidak menyinggung objeknya (manusianya), yang seringkali malah tertawa.

Seorang karikaturis ataupun kartunis, tidak perlu berbenturan langsung dengan suatu kekuasaan. Tetapi bagaimana kecerdikan mereka untuk mengakali suatu kekuasaan takluk oleh sebuah kerendahan hati. Atau kata Jaya Suprana "Positioning", bagaimana seni menempatkan diri. Kendatipun dengan nada kritik yang benar-benar pahit, namun secara keseluruhan karyanya tetap positif. Kritik dan ejekan yang dilemparkan dilandasi oleh sikap optimis dan hasrat reformis.

Fenomena ini akan berlanjut terus, lebih-lebih dalam alam keterbukaan politik dan globalisasi informasi ini. Disini, para kartunis dan karikaturis dituntut memiliki kreativitas, kredibilitas (diantaranya kemampuan teknik drawing) dan cakrawala berpikir yang luas. Dan tetap setia mempertahankan keunikannya sebagai humanis - humoris.

Kartun dalam pers Indonesia

Di Indonesia, kartun muncul sekitar tahun 1930-an. Dipelopori oleh Surono, Karyono, dan Norman Camil. Dekade 50-an, Kartun karya Abdulrachim (Al) dan Muhammad Budino (Mobo) muncul di Majalah Terang Bulan. Pada tahun itu pula, Indri Sudono dan Sunarso muncul di Penyebar Semangat.

Booming pertama kartun terjadi di medio 60-an, saat nama-nama seperti Arwah Setiawan, Pramono, Jhonny Hidayat, GM Sudarta, T Sutanto menghiasai berbagai media. Booming kedua terjadi di penghujung dekade 80-an, saat para kartunis tumbuh bak jamur di musim hujan. Wadah para kartunis, menyebar di berbagai kota. Sebut saja diantaranya, SECAC (Semarang Cartoon Club), WAK SEMAR (Wadah Kartunis Semarang), PAKYO (Persatuan Kartunis Yogya), PAKARSO (Persatuan Kartunis Solo), KOKKANG (Kelompok Kartunis Kaliwungu), dan KARUNG (Kerabat Kartunis Bandung).

Bahkan, terbentuk sebuah wadah besar para kartunis Indonesia, yang bernama PAKARTI (Persatuan Kartunis Indonesia).

Wadah-wadah itu, berupaya mengembangkan sekaligus menghilangkan citra bahwa karikatur dan kartun sebagai bentuk ungkapan senirupa, seringkali hanya dianggap sebagai aktivitas marginal dari seniman grafis, karena karyanya banyak yang tidak bernilai secara ekonomis.

Belum lagi, kini para pengelola pers tidak bisa menyangkal lagi dan sangat mengerti arti penting kehadiran kartun dalam media massa. Kartun telah menyatu dengan pers. Mengingat bahwa kartun dapat sebagai penyejuk bagi pembaca setelah membaca artikel-artikel berat dengan sederetan huruf yang cukup melelahkan mata dan pikiran.

Ia dibutuhkan sebagai penangkal kepenatan, untuk rekreasi dan hiburan ringan. Malah, jika dipandang dari sudut lain, penyampaian berita disertai penyajian gambar akan mudah diingat, apa lagi dalam bentuk kartun dan karikatur. Dapat dikatakan kartun dan karikatur berkembang bersama pers.

Keberadaan kartun dan karikatur dalam pers kini semakin mantap. Orang kadung jatuh cinta terhadapnya. Kehadirannya dalam penerbitan pers sudah menjadi barang yang selalu dinanti. Hampir setiap penerbitan menyediakan rubrik ini. Karena disadari oleh para penerbit, rubrik tersebut punya daya jual terhadap produk dagangannya itu.

Terakhir, sebagai kritik sosial, sudah seharusnya kartun dan karikatur dalam pers di Indonesia selalu mengingatkan hal-hal yang mungkin terlupakan atau terabaikan dalam kegelisahan terhadap perubahan politik negaranya. Kartunis dan karikaturis yang membawa pesan dan kritik itu, diharapkan dapat berperan dengan hati nuraninya. Bukannya malah memperkeruh suasana!***

 

Baca Selengkapnya......

Membekali Siswa Sejak Dini Dengan Keterampilan dan Kecerdasan Berkomunikasi

Integrasikan Life Skill dalam Kurikulum
Kemampuan akademik belum cukup untuk membekali siswa. Keterampilan dan kepandaian berkomunikasi juga sangat dibutuhkan. Sebagian sekolah telah menanamkan materi yang biasa disebut dengan life skill atau soft skill itu sejak dini.

BAMBANG geleng-geleng kepala karena tak habis pikir. Guru SD Al Hikmah Surabaya itu menerima kabar bahwa kawannya memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Padahal, gajinya mencapai belasan juta rupiah perbulan. "teman saya itu keluar karena tidak mampu berkoordinasi dengan kawan-kawan satu timnya," kata pria yang sudah delapan tahun mengajar bahasa Indonesia itu.

Dia mengakui, selama ini sekolah kerap hanya fokus pada persoalan akademik siswa. Kemampuan yang diberikan hanya bersifat teknis atau keilmuan menyangkut pekerjaan kelak. Sementara bidang-bidang lain yang menyangkut bekal komunikasi di kehidupan nyata sering terlupakan. "Pembelajaran tidak hanya ditekankan pada kemampuan akademik. Harus dipahami bahwa Penanaman life skill sangat penting. Dan itu harus dilakukan sejak dini," imbuh bapak satu anak itu.

Tak ingin hal serupa terjadi pada siswa-siswinya kelak, Bambang selalu memutar otak bersama guru yang lain untuk menyusun pembelajaran yang di dalamnya termasuk penanaman life skill. Pemikiran itu didasarkan pada pertimbangan bahwa sebagian besar waktu anak dihabiskan di sekolah. Apalagi banyak orang tua siswa yang merupakan pekerja super sibuk.

Martadi MSn, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa), menerangkan bahwa secara umum life skill dibagi dua, yakni generik dan spesifik. Generik mencakup kecapakan personal dan sosial, serta kecakapan berkomunikasi dan bekerja sama. Kecakapan life skill generik inilah yang harus diberikan sejak dini. Guru harus kreatif menyusun kegiatan. "Sedangkan life skill spesifik sudah termasuk dalam ranah menghadapi pekerjaan. Yakni akademik dan vocational atau kejuruan," katanya.

Apa yang diungkapkan Martadi tersebut sudah pula diterapkan beberapa sekolah di tanah air. Salah satunya adalah SD Al Hikmah Surabaya. Full day school tersebut mendesain kegiatan sekolah sesuai dengan tujuan penerapan life skill yang ingin dicapai. "Biasanya kami masukkan langsung pada Rencana Program Pembelajaran (RPP) yang kami susun setiap hari," kata Bambang .

Untuk life skill dasar, biasanya guru ingin agar siswanya mampu bekerja dalam tim, mampu memberi penghargaan terhadap sesama, cinta lingkungan, keberanian, kemandirian, tanggung jawab, dan penanaman budi pekerti. "Integrasi penanaman life skill dengan kurikulum akan lebih mudah apabila kita menggunakan model pengajaran bertema," ungkapnya.

Banyak contoh penanaman life skill yang telah dilakukan oleh sekolah tersebut. Sebagian besar bersifat outdoor. Misalnya, menanam tanaman obat keluarga (toga). "Kami integrasikan dengan pelajaran sains. Belajar tanaman obat sekaligus menanamkan life skill," kata Guru Kontributif Jawa Timur pilihan Konsorsium Pendidikan Islam (KPI) itu.

Dalam kegiatan tersebut, siswa kelas dua dibagi dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok harus bertanggung jawab atas satu tanaman yang ditanam hingga tumbuh besar. Dari kegiatan kelompok tersebut, para siswa akhirnya berinteraksi. Siswa yang memiliki bakat kepemimpian akan menonjol karakternya. Yang pendiam, awalnya memang mengalami kesulitan untuk berbaur. "Kalau sudah begitu, guru turun untuk memotivasi, sebagai fasilitator. Kami meminta sang ketua untuk melibatkan siswa yang kurang aktif," tuturnya.

Tak berhenti hingga taraf penanaman, sekolah juga meminta anak untuk membikin laporan pertumbuhan tanaman. Bahkan, ketika tanaman sudah dipanen, para siswa diminta untuk membikin bazar di sekolah dan menjual obat mereka kepada orang tua. Mereka diminta mandiri untuk menawarkan dan melayani. "Dengan cara itu, pembelajaran sudah memberikan dua bekal. Yakni akademik dan life skill," katanya.

Menurut Bambang, melalui kegiatan kerja sama dalam tim, sifat-sifat anak akan terungkap. Guru akan mengetahui siapa saja yang memerlukan motivasi lebih. Setelah itu, sekolah akan menyampaikan kepada para orang tua.

Kegiatan outdoor untuk menumbuhkan life skill pada siswa juga dilakukan SD Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya (SAIMS). Untuk program yang mereka namai character building, sekolah menyiapkan leadership camp. Siswa dibagi dalam kelompok-kelompok dan diminta menginap di sekolah. "Mereka diuji untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik. Apabila mereka pemimpin, jadilah pemimpin yang baik," papar Dwipriyo Setyowahono, kepala sekolah.

Melalui kemah di sekolah, siswa akan menikmati pengalaman baru. Misalnya, bagaimana rasanya mengantre mandi, mengatur jadwal tidur agar esoknya tak kesiangan, serta belajar kemandirian lain. "Yang juga kami tekankan adalah sosialisasi dengan komunitas lain," imbuhnya.

SAIMS juga melakukan kegiatan home stay. Caranya, sekolah menitipkan para siswanya di rumah-rumah warga. Sebuah lokasi biasanya mereka pilih pada saat liburan

Home stay adalah salah satu kegiatan andalan sekolah tersebut dalam menggodok mental siswa. Dengan kegiatan itu, lanjut Dwi, siswa akan belajar menghargai orang lain dan beradaptasi. "Guru memang harus menjadi garda terdepan untuk menyukseskan program tersebut. Karena itu, Ide-ide baru harus selalu ditelorkan," katanya.

Setelah pelaksanaan program life skill, para guru tak boleh tinggal diam. Guru harus mampu memetakan siswa. Misalnya, apakah siswa yang semula dianggap kurang di suatu hal sudah mampu memperbaiki kekurangan? "Laporan biasanya ditulis dalam ketuntasan ketrampilan khusus," kata Bambang. Setelah guru mengambil kesimpulan mengenai perkembangan siswa. Guru tak boleh lupa untuk juga menyampaikan pada orang t

 

Baca Selengkapnya......