Tuesday, June 5, 2007

Peran Media Global dalam Pembentukan Identitas Islam di Indonesia


Pada tanggal 21 Mei 2006, pusat kota Jakarta lumpuh semenjak pagi hingga sore hari. Hal ini disebabkan berkumpulnya massa yang jumlahnya tidak kurang dari 1 juta orang. Mereka melakukan aksi damai mendukung diterapkannya aturan mengenai pakaian dan kesusilaan yang berdasarkan syariat Islam (untuk tidak menyatakan, mendukung RUU APP). Massa sebesar itu merupakan gabungan dari berbagai elemen Islam, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persatuan Islam (Persis), Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), al-Irsyad, dan lain-lain. Aksi yang sama juga terjadi di seluruh kota-kota besar di Indonesia. 

Setelah beberapa tahun lalu sering disibukkan dengan masalah perbedaan mazhab, kini hampir seluruh organisasi Islam bergabung dalam satu barisan, satu langkah, dan satu isu bersama. Di samping itu, umat Islam melalui ormas-ormasnya ternyata mampu mengartikulasikan keinginan politiknya, dengan kata lain, kecerdasan dan partisipasi umat Islam yang selama ini dianggap pupus dan mandul, mulai menyeruak muncul. Berkelanjutan dengan bergulirnya isu Anti Pornografi dan Pornoaksi, muncul isu mengenai Peraturan Daerah yang banyak mengadopsi atau bahkan menjadi batu loncatan penerapan, syariat Islam.

Beberapa kejadian diatas memberikan petunjuk, bahwa di Indonesia sedang muncul keinginan sebagian besar warga Indonesia untuk kembali kepada Islam. Penduduk Indonesia, bisa dikatakan mulai memilih untuk menghubungkan identitasnya sebagai bagian dari umat Islam sedunia. Proses identifikasi diri ini (baca: fragmentasi) justru terjadi manakala dunia sedang mengalami transformasi penghilangan sekat-sekat teritorial atas pergerakan modal, penduduk, dan informasi yang berjalan sangat masif (baca: globalisasi).

Beberapa detik setelah roket Israel menghantam Jalur Gaza di Palestina ketika ramai perebutan Piala Dunia 2006 di Jerman kemarin, dapat langsung menyedot kembali perhatian umat Islam di Indonesia. Terlihat, keesokan harinya, puluhan ribu massa HTI, MMI, PKS, dan lain-lain turun ke jalan-jalan di Jakarta untuk menghujat Israel dan sekutunya, Amerika Serikat dan Inggris. Rupanya kemajuan teknologi informasi yang terstruktur dalam tatanan media global memiliki andil dalam berbagai dinamika proses identifikasi diri tersebut

Komunikasi Massa dan Media Global

Komunikasi telah mencapai suatu tingkat dimana orang mampu berbicara dengan jutaan manusia secara serentak dan serempak. Teknologi komunikasi muthakhir telah menciptakan apa yang disebut ‘publik dunia’ (Dofivat, 1967 dalam Rakhmat, J.,1999). Bersamaan dengan perkembangan teknologi komunikasi ini, meningkat pula kecemasan tentang efek media massa terhadap khalayaknya. Dofivat mengingatkan kita tentang kemungkinan dikontrolnya media massa oleh segelintir orang untuk kepentingannya sendiri, sehingga jutaan manusia kehilangan kebebasannya. George Orwell, futuris lainnya, meramalkan suatu dunia pada tahun 1984. Dalam ramalan tersebut seorang diktator mengendalikan pikiran dan tingkah laku rakyat dengan teknologi komunikasi yang cermat dan rumit.

Pada akhirnya, Jalaluddin Rakhmat merangkum sendiri definisi komunikasi massa menjadi, sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronik, sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat (Rakhmat, J., 1999)

Sementara itu, media global secara mudah, didefinisikan sebagal sistem media komersial yang telah berhasil membuat informasi sampai pada tingkatan global. Ia didominasi oleh sejumlah kecil korporasi media transnasional yang sangat kuat dan biasanya berbasis di Amerika Serikat. Ia adalah sebuah sistem yang bekerja untuk meningkatkan justifikasi bagi perlunya pasar global dan menyebarkan nilai-nilai komersial, sementara kritik jurnalisme dan budaya tidak menjadi perhitungan bagi kepentingan korporasi jangka panjang. (McChesney, R., 1997)

Sistem komersial global adalah perkembangan yang sangat baru. Hingga tahun 1980-an, sistem media secara umum hanya memiliki jangkauan nasional. Meski terdapat impr buku-buku, film, musik, dan acara TV selama beberapa dekade, dasar sistem penyiaran dan industri koran masihlah dimiliki secara domestik, dan diregulasi. Pada awal tahun 1980an, tekanan dari IMF, Bank Dunia, dan pemerintah Amerika Serikat untuk melakukan deregulasi dan privatisasi sistem media dan komunikasi, bertepatan dengan munculnya teknologi digital dan sistem satelit yang baru, menghasilkan kebangkitan bagi raksasa media transnasional

Diri dan Identitas

Banyak pemikir sosiologi yang melihat konsep diri, muncul, berkembang dan dipertahankan melalui proses interaksi sosial. Ia tidak diberikan ketika lahir atau merupakan konsekuensi yang tidak terhindarkan dari perkembangan biologis seseorang. Tetapi, seorang individu harus belajar siapa dirinya melalui interaksi dengan orang lain. Melalui interaksinya dengan orang lain, seseorang menjadi percaya bahwa dia memiliki diri yang berbeda dan bermakna (Sandstrom, et.al., 2001).

Permasalahan yang kemudian banyak diperhatikan adalah apakah tindakan seseorang dipengaruhi oleh konsep diri atau justru oleh situasi. Studi kualitatif Ralph Turner (1976) dan Louis Zurcher (1977) yang mengambil sampel masyarakat Amerika mendapati bahwa budaya Amerika telah berubah. Pada tahun 1950-an hingga 1960-an, warga Amerika cenderung memiliki konsep diri yang stabil dan konsisten, yang biasanya dijangkarkan pada institusi sosial dimana mereka aktif, semisal keluarga, tempat kerja, gereja, atau sekolah. Pada tahun 1970-an, ternyata warga Amerika telah mengembangkan rasa diri yang bisa didiamkan (mutable), dan berjangkar lebih pada rangsangan ketimbang institusi, serta lebih dapat beradaptasi secara fleksibel pada tuntutan perubahan dalam masyarakat yang sangat cepat.

Erving Goffman, justru memandang bahwa tidak ada konsep diri yang real, ia hanyalah seperangkat topeng dan sandiwara situasi. Goffman menganggap bahwa interaksi sehari-hari dapat dipahami lebih baik jika kita berfikir, bahwa sesungguhnya orang-orang adalah aktor yang bermain di panggung. Sebagai aktor, mereka memainkan peran dan memanipulasi sandaran,seting, kostum serta simbol-simbol untuk mencapai hasil yang menguntungkan, semakin halus interaksi tersebut, makin dihargai orang tersebut. Orang-orang memiliki ide tentang siapa diri mereka, ide-ide yang mereka sajikan pada orang lain. Mereka memperhatikan citra yang orang lain bentuk dari mereka. Hanya dengan mempengaruhi citra dirinya kepada orang lain, mereka dapat memperkirakan atau mengontrol bagaimana orang lain akan merespon diri mereka. Proses penyesuaian (tailoring) tampilan mereka pada pemirsa yang lain sangat mendasar bagi interaksi sosial. Goffman menyebutnya sebagai impression management, sebuah proses dimana tiap orang memanipulasi bagaimana orang lain melihat dan menjabarkan situasi, membuat isyarat isyarat ekpresif yang membawa orang lain untuk bertingkah sebagaimana yang mereka rencanakan (Goffman, 1959 dalam Sandstrom, et.al., 2001).


II. Mencari Hubungan

Appadurai mengatakan, pergerakan global manusia dan persebaran media elektronik beserta produk budayanya adalah ciri khas dari momen sejarah kontemporer. Skala dan cakupan pergerakan dan persebaran global ini – beberapa aspek penting dimana kebanyakan orang menyebutnya sebagai globalisasi – mempunyai konsekuensi mendalam bagi proses kognitif dan proses sosial yang menjadi akar dari pembentukan identitas budaya. Dalam konteks globalisasi, proses kognitif dan proses sosial, hampir tidak dapat dihindari terkait dengan pertanyaan tentang komunitas dan negara serta penuh dengan tekanan politik dan budaya. Oleh karenanya, proses pembentukan identitas selalu merupakan sebuah perebutan ruang budaya dimana media massa – baik media mainstream maupun media alternatif – mewakili sumber daya sekaligus pembatas bagi konstruksi “imagined selves” dan “imagined worlds” (Appadurai, 1996).

Apa yang kemudian kita usahakan untuk ketahui saat ini sebenarnya adalah efek dari Media Global terhadap pembentukan identitas Islam / Muslim dari warga Indonesia. Yang berusaha kita ketahui saat ini bukanlah efek komunikasi massa terhadap pembentukan identitas, tetapi efek kepemilikan segelintir pihak atas sistem komunikasi massa global, terhadap pembentukan identitas. Ada dua teori yang akan digunakan untuk menjelaskan perihal perebutan ruang budaya ini. Yaitu, teori Cultural Imperialism, dan teori Cultural Critical.

Cultural Imperialism

Teori imperialisme budaya menyatakan bahwa negara-negara Barat telah mendominasi media di seluruh dunia yang berakibat sangat besar pada budaya negara Dunia Ketiga dengan memaksakan pada mereka pandangan-pandangan Barat dan kemudian menghancurkan budaya asli mereka (Schiller, H.,1973).

Hal ini dapat terjadi karena Peradaban Barat dengan kemampuan finansial yang besar, mampu memproduksi berbagai bentuk media (film, berita, komik, dan lain-lain) dalam frekuensi yang besar pula. Sementara negara-negara lain memberli produk ini, karena ia lebih murah bagi mereka, ketimbang memproduksi sendiri. Oleh karena itu, negara Dunia Ketiga melihat media yang telah dicekoki dengan gaya hidup, gaya keyakinan, dan gaya berfikir dunia Barat. Dunia Ketiga kemudian ingin melakukan hal yang sama terhadap negara mereka, dan secara perlahan menghancurkan budaya mereka sendiri.
Menurut teori ini, manusia tidak memiliki kebebasan untuk memilih bagaimana mereka merasakan, bertingkahlaku, berfikir, dan hidup. Mereka hanya bisa bereaksi pada apa yang mereka lihat di televisi. Hal ini terjadi karena tidak ada hal lain yang dapat dijadikan perbandingan yang seimbang. Oleh karenanya hanya ada satu kebenaran, dan apapun yang terjadi, kebenaran tersebut tidak akan berubah. Selama negara Dunia Ketiga terus menyiarkan program-progam Peradaban Barat, maka negara Dunia Ketiga akan terus mempercayai bahwa mereka harus bertindak, merasa, berfikir, dan hidup sebagaimana Peradaban Barat bertindak, merasa, berfikir, dan hidup.

Cultural Critical

Teori Kritik Budaya menyatakan bahwa media massa telah memaksakan ideologi dominan pada masyarakat lain. Pengonotasian kata serta citra adalah bagian dari pemaksaan ideologi, yang dilakukan sebagai bentuk pelayanan terhadap elit yang sedang berkuasa (Hall, S., 1976 dalam Griffin, E., 1997). Artinya, pertama, media telah menjadi alat kontrol atas bagaimana negara kita dilihat oleh publik dunia. Kedua, publik dunia adalah subyek sekaligus obyek dari media yang sangat mudah untuk dimanipulasi. Ketiga, tidak ada demokrasi dalam kendali media, karena media sendiri adalah alat yang dikendalikan oleh pihak elit yang berkuasa. Proses serta pesan yang terjadi dalam komunikasi, jelas bersifat hanya searah.

Identitas Islam – Muslim dan Ummah

Islam sebagai identitas yang dikenakan, dapat dikenali melalui pendekatan keyakinan yang dimiliki, tetapi tidak (belum) pada perbuatan yang mereka lakukan (karena itu ada istilah fasiq/pendosa, dan munafiq/hipokrit). Pendekatan kedua adalah pendekatan institusional, dimana identitas dilihat dari adanya pengakuan / konfirmasi identitas dari institusi yang berwenang. Jadi, seseorang dipandang sebagai orang Islam (Muslim) jika orang tersebut yakin pada keberadaan Allah swt sebagai Tuhan, yakin pada keberadaan Malaikat-Malaikat, yakin pada keberadaan Muhammad saw sebagai utusan Tuhan yang terakhir, yakin pada keberadaan Al Quran sebagai kitab suci terakhir bagi seluruh umat manusia, dan yakin pada keberadaan Qadha dan Qadar (Takdir). Ia juga dipandang sebagai seorang muslim manakala memegang identitas resmi yang menyatakan dirinya sebagai orang Islam.

Identitas kolektif dari orang-orang Islam, biasa disebut dengan istilah Ummah. Konsep Ummah sendiri berasal dari dogma Islam yang tersebut dalam Al Quran, yaitu ummatan waahidah (umat yang satu). Pada awalnya, ummah memiliki dua konotasi, yaitu komunitas atau negara yang terdiri dari orang-orang yang beriman, dan dunia Islam itu sendiri. Para pakar Islam modern sering menggunakan frasa ‘Ummat Islam’ yang ditujukan pada seluruh manusia yang ada di tanah dan negeri-negeri dimana orang Islam dominan tinggal, dan mereka yang berada dibawah kontrol Khilafah Islam. Karena Khilafah Islam tidak hanya terdiri dari orang-orang Islam, maka sebutan Ummah juga mengena pada minoritas non-Muslim. Ketika para ahli ini berbicara mengenai penyatuan ummat Islam, mereka juga memasukkan orang non-Muslim, sebagai warga negara Ummat Islam, yang hidup secara damai dengan penghormatan atas agama-agama mereka.

Global War Against Terrorism dan Imperialisme Budaya Amerika Serikat – Buah Agenda Setting Media Global

Berbicara tentang wacana “war on terrorism”, maka hal ini tidak dapat dilepaskan dari peristiwa tragis di awal abad ke 21 yaitu peristiwa terror terhadap gedung WTC pada 11 September 2001. Banyak pengamat dan intelektual yang menempatkan 9/11 sebagai awal pijakan baru bagi atmosfer politik global di abad ke-21. Hal ini tentunya tidak semata-mata angka korban kematian 3000 jiwa yang diakibatkan oleh penyerangan terror tersebut. Namun nilai fundamental dari 9/11 justru pada transformasi kebijakan luar negeri berbasis kepentingan nasional dari pemerintahan AS sebagai respons terhadap serangan tersebut. Sesaat setelah terjadinya penyerangan tersebut, jajaran pemerintahan Amerika Serikat yang diwakili oleh pernyataan Wakil Presiden Dick Cheney, menguraikan bahwa atas nama mempertahankan kepentingan nasional, akan dimulai sebuah babak awal baru bagi perang terhadap terorisme. Perang berjangka panjang dan tidak akan selesai, setidaknya dimasa kehidupan kita.

Genderang perang terhadap terorisme semakin nyaring ditabuh dan benar-benar menjadi komitmen dari pemerintahan Amerika Serikat, setelah pidato Presiden George W. Bush di West Point pada tahun 2002. Diawali dengan penegasian terhadap motif-motif imperialisme yang dituduhkan oleh banyak kalangan kepada pemerintahannya, George W. Bush menguraikan bahwa Amerika tidak memiliki kepentingan terhadap ekspansi imperialisme ataupun menegakkan rencana utopia tersebut. Namun demikian pernyataan tersebut kemudian dilanjutkan dengan tendensi imperialistic pemerintahan neo-conservative dari Bush. Menurut Bush, bangsa Amerika akan menggunakan posisinya untuk membangun tatanan dunia baru berbasis keterbukaan dimana nilai-nilai progresif dan kebebasan akan menyebar di seluruh bangsa-bangsa di dunia. Tatanan dunia damai berbasis kemerdekaan akan menjaga kepentingan jangka panjang Amerika dan memperkuat tali persatuan antara Amerika dan bangsa-bangsa lain yang akan turut menjaga tatanan dunia tersebut. Lanjut Bush, represi, kemiskinan, dan penindasan akan digantikan dengan harapan akan demokrasi, pembangunan, bersama dengan pasar dan perdagangan bebas. Pernyataan dari George Bush ini kemudian terrealisasikan secara resmi sebagai kebijakan Amerika Serikat dalam dokumen National Defense Strategy (NDS) beberapa waktu kemudian.

Pernyataan Bush tersebut menunjukkan bagaimana pemerintahan neo-conservative dibawah George W. Bush ini menyembunyikan motif imperialistiknya dan “membajak” jargon-jargon demokrasi, kebebasan dan pembangunan untuk melegitimasi proyek imperialistiknya terhadap bangsa-bangsa lain. Beberapa argumentasi akademik (Michael Ignatieff, Max Boot, Samuel P. Huntington, Christopher Hitchen dll) kemudian muncul untuk memberikan dukungan terhadap motif ekspansif dari pemerintahan Amerika Serikat dibawah Bush ini.

Michael Ignatieff (2003) penulis prolific dari surat kabar New York Times dalam artikelnya The Burden , menegaskan bahwa inisiatif pemerintahan Bush untuk mendeklarasikan perang terhadap terorisme merupakan bagian dari proyek imperialisme. Namun demikian Ignatieff mengafirmasi proyek imperial tersebut dengan mengutarakan bahwa Amerika tidak dapat lagi membangun tatanan imperial setengah hati seperti masa-masa sebelumnya. Sekaranglah saatnya bagi AS untuk menyiapkan diri secara serius memerankan dirinya secara permanent menjaga tatanan global bagi kepentingan bangsa ini untuk menjamin kebebasan, persamaan dan demokrasi diseluruh dunia. Proyek imperial inilah kemudian dalam ruang publik dikenal sebagai proyek “Imperialisme Demokratik”. Sebuah proyek imperial yang didorong oleh hasrat-hasrat primitive akumulasi capital dan perluasan hegemoni politik dan diberi pembenar legitimasi intelektual penyebaran gagasan-gagasan demokrasi (Pribadi, A.,2006).

President George Bush Jr dalam pidatonya di depan undangan National Endowment of Democracy dan di hadapan The Ronald Reagan Presidential Library, pada hari Kamis, 6 Oktober 2005 menyatakan

“The militants believe that controlling one country will rally the Muslim masses, enabling them to overthrow all moderate governments in the region, and establish a radical Islamic empire that spans from Spain to Indonesia.” (http://www.msnbc.msn.com/id/11989895/ diakses 2 Juni 2006)

Bush artinya dengan lantang menyatakan bahwa, konsep Ummah atau identitas kolektif Islam-lah yang kemudian menjadi ancaman paling besar dari proyek Imperialisme Demokratik Amerika Serikat. Hal ini berulang-ulang dinyatakan oleh Bush, Blair, dan Cheney di berbagai kesempatan lain dan juga dikutip oleh banyak sekali media.

Kenyataan bahwa Bush memusuhi Islam-lah yang kemudian menggores cakar pedas ke dalam hati umat Islam di seluruh Dunia, tak terkecuali di Indonesia. Dan invasi Amerika Serikat atas budaya Islam melalui raksasa media memang sesungguhnya sedang terjadi lewat berbagai program Global War on Terror-nya. Zallum (1996) jauh jauh hari sudah menyatakan bahwa media memiliki peran yang sangat penting dalam serangan Amerika untuk menghancurkan Islam. Bahkan, raksasa media, yang selalu beritanya dikutip mentah-mentah oleh media Nasional, pun menjadi pilar keempat bagi serangan ini setelah Geopolitik AS di berbagai negeri Islam, Kepemimpinan AS atas negara kapitalis lain, dan Legitimasi AS melalui lembaga internasional.

“Sarana-sarana media massa internasional yang telah dikuasai oleh AS dan sekutu-sekutunya yang kemudian dijadikan senjata paling mematikan untuk melancarkan serangan. Sarana-sarana itu, selain dimanfaatkan AS untuk menjajakan slogan-slogan yang mereka gunakan dalam serangan ini, telah direkayasa untuk menggambarkan citra buruk mengenai Islm serta membangkitkan rasa benci dan permusuhan dunia terhadap orang-orang yang berpegang teguh pada Islam. Mereka yang konsisten terhadap Islam telah dicap dan dicaci-maki dengan macam-macam predikat seperti: “fundamentalis”, “radikalis”, “ekstrimis”, “teroris”, dan sebagainya. Tidak diragukan lagi, senjata mereka ini sangatlah berbahaya, terutama setelah adanya revolusi komunikasi dan informasi yang berlangsung pada paruh kedua abad ini, sehingga dunia seakan-akan telah berubah menjadi sebuah desa kecil. Akibatnya, hampir tidak ada satu rumah pun di dunia ini yang tidak dimasuki oleh arus informasi, baik informasi yang dapat dibaca maupun yang bersifat audio visual.”

Pembentukan Kembali Identitas Islam di Indonesia, Kesalahan Teori Kritik Budaya?

Saya rasa teori kritik budaya masihlah relevan untuk digunakan. Karena pada muasalnya, teori kritik budaya ini penerapannya hanya pada konteks budaya lokal, atau pembentukan identitas lokal. Sementara identitas lokal bangsa Indonesia memang justru semakin tergerus, dan identitas Islam-lah yang kemudian dipilih untuk digunakan menentang kezaliman imperialisme budaya Barat. Adakah teori yang bisa menjelaskan ini?

Mungkin menyebut teori Huntington tentang Benturan antar Peradaban, akan sangat membosankan. Tetapi, hanya teori ini yang dapat memberikan kerangka global bagi diskursus identitas. Penjelasannya, imperialisme budaya Amerika Serikat sangatlah bersifat ideologis. Peradaban ideologis ini memiliki senjata yang sangat kuat, yaitu institusi pemerintah dan berbagai derivatnya. Sesungguhnya masyarakat telah sadar, bahwa peradaban ideologis dunia hanya dapat dilawan oleh peradaban ideologis dunia yang lain. Tidak mungkin peradaban ideologis dunia yang high context culture, dapat dilawan oleh peradaban lain yang low context culture.

Dialog antar peradaban yang dibangun sebagai counter atas tesis benturan peradaban, tidak akan mewujud manakala kondisi versus antar high context culture tersebut timpang. Sebagai contoh, Kapitalisme, memiliki AS dan sekutu sebagai ujung tombaknya, sementara Islam, tidak memiliki Khilafah Islam sebagai ujung tombak yang lain. Maka tesis benturan antar peradaban ini sangatlah mungkin untuk menjelaskan fenomena yang kini sedang terjadi, dan bisa jadi tesis benturan peradaban ini tidak akan pernah berakhir.

Ada dua teori pendukung yang dapat menjelaskan lebih detail tentang , yang pertama adalah teori alienasi dan kesadaran kelas, dan kedua adalah teori interkultural standpoint.

Alienasi dan Kesadaran Kelas

Alienasi adalah proses dimana rakyat menjadi terasingkan dari dunia dimana mereka hidup. Konsep alienasi ini melekat secara mendalam dalam seluruh agama besar dan teori sosial politik di generasi yang beradap. Konsepnya adalah, bahwa pada suatu waktu di masa lalu, rakyat hidup dalam harmoni, dan kemudian muncul semacam keterputusan (rupture) dimana kemudian membuat orang lain serasa asing di dunianya. Akan tetapi pada waktu yang lain di masa depan, alienasi ini akan dapat diatasi dan kemanusiaan akan kembali hidup dalam harmoni itu sendiri dan bersama Alam (Mészáros, István. 1970).

Dalam konsepsi Marx, alienasi yang awalnya dikembangkan oleh Hegel ini akan merubah kesadaran masyarakat tentang kelas. Konsep kesadaran kelas yang memicu perjuangan kelas merupakan metode perubahan Sosialisme Marx atas Kapitalisme Klasik. Kesaran Kelas dalam konsep Marx adalah kesadaran akan keberadaan dirinya dilihat dari sudut pandang bagaimana orang memproduksi dan juga mengkonsumsi suatu produk.

Kita coba untuk menginduksikan kesadaran kelas ini pada kesadaran kepemilikan cara produksi media. Pada kenyataannya, sumber media di Indonesia seringkali adalah dari media global. Dan seringkali produk media tersebut disiarkan kembali dengan mentah-mentah kepada khalayak Indonesia. Sementara itu, produk media Barat sendiri sangat menusuk harga diri ummat Islam. Kesadaran bahwa ummat Islam dialienasi dalam hal produksi dan konsumsi media, menjadikan mereka bangkit, dan bergerak melawan kezaliman imperialisme budaya Barat dengan mengusung identitas Islam.

Dan ummat Islam menginginkan agar mereka pun mampu membuat berbagai counter opinion, salah satunya melalui media massa. Berbagai jalan bisa dipilih, meski kemudian belum bisa menyaingi keberadaan media global. Bahkan Al Jazeera TV yang berpusat di Qatar, pun belum bisa mengalahkan dominasi media global milik kaum Kapitalis Barat.

Standpoint

Teori ini menjelaskan bahwa pengalaman individu, pengetahuan, dan perilaku komunikasi sebagian besar dibentuk oleh kelompok sosial dimana mereka aktif (Wood, J. T.,1982 dalam West, R., & Turner, L. H., 2000). Dari sinilah kita dapat menarik kerangka tentang sistematika pengaruh kekuatan pembentuk identitas.

Secara kultural, bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan dan masa awal kemerdekaan adalah bangsa yang guyub. Keguyuban ini pun terbawa pada kolektif-kolektif komunitas Islam. Kita mengenal adanya komunitas pesantren NU, dan Muhamadiyyah pada masa sebelum kemerdekaan. Setelah kebijakan Soeharto di era tahun 1980-an yang lebih dekat dengan Islam, dan komunitas kolektif Islam menjadi semakin menjamur. Dan semakin banyaknya komunitas kolektif inilah yang kemudian banyak sekali mempengaruhi kehidupan warga Indonesia yang lain. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh media global telah tereduksi oleh keberadaan dan pengaruh komunitas kolektif yang memiliki high context culture.

Semangat warga Indonesia untuk kembali menggunakan Identitas Islam untuk melawan kezaliman Barat ternyata dipengaruhi oleh keberadaan media global milik Kapitalis Barat. Teori Imperialisme Budaya menjelaskan, bahwa media global tersebut telah menciptakan kondisi pemusnahan secara perlahan dan sistematis atas budaya ummat Islam di seluruh dunia. Sementara Teori Kritik Budaya memperlihatkan bahwa, sebenarnya memang media global telah menjadi alat yang dikontrol hanya oleh sebagian kecil (elit Barat) yang berkuasa, seperti Time Warner, Disney, Bertelsmann, Viacom, dan Rupert Murdoch News Corporation.

Identitas Islam sendiri biasa diungkapkan melalui rukun iman dan dokumen legal. Dan citraan ini telah dimanipulasi (tailoring) oleh media global melalui agenda global war on terrorism pasca tragedi 11 September 2001. Selain itu, publik Indonesia juga merasa perlu untuk menghentikan kezaliman Kapitalisme global. Maka kemudian digunakanlah identitas Islam sebagai identitas yang high context culture. Karena untuk mengalahkan Kapitalisme global yang high context culture, identitas menjadi tandingan juga harus merupakan identitas high context culture. Meski kemudian dipahami, bahwa identitas ini tidak akan berarti apa-apa selama belum terinstitusionalisasikan melalui metode keummatan atau Khilafah Islam.

Benturan peradaban bisa jadi memang yang sedang terjadi antara Islam dan Kapitalisme Barat. Karena, melalui teori alienasi dan kesadaran kelas, kita mendapati bahwa warga Islam di Indonesia, dan di dunia sebenarnya telah teralienasikan dari Islam itu sendiri, dan kemudian diformat ulang agar menjadi sama dengan format pengendali media global Kapitalis. Kesadaran akan alienasi dan kesadaran akan timpangnya sumberdaya untuk melawan Kapitalisme di tataran media global (kesadaran kelas), kemudian mempengaruhi tindakan mereka untuk bergerak melalui cara-cara seperti pengorganisasian massa, dan aksi turun jalan dengan menggunakan identitas politik Islam.

 

No comments: