Saturday, May 19, 2007

Pendidikan Seks, Seperti apa?


Orangtua sering tak menyadari, anak-anak mereka dianggap lugu dan pendiam. Di luar sana, pergaulannya lebih gila!. Mengalahkan orang dewasa.
Akhir 1997, majalah Gatra-bekerja sama Laboratorium Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (LIP FISIP-UI)-- menjaring 800 responden remaja berusia 15-22 tahun di Jakarta. Hasilnya, sebanyak 45,9% (367 responden) memandang berpelukan antarlawan jenis adalah hal wajar, 47,3% (378 responden) membolehkan cium pipi, 22% tak menabukan cium bibir, 11% (88 orang) oke saja dengan necking alias cium leher atau cupang, 4,5% (36 responden) tak mengharamkan kegiatan raba-meraba, 2,8% (22 responden) menganggap wajar melakukan petting. Dan 1,3% (10 responden) tak melarang senggama di luar nikah.
Sebuah baseline survey di Semarang yang melibatkan 127 orang responden, yang dilakukan Pilar-PKBI Jawa Tengah yang bekerjasama dengan Tim Embrio 2000, pada tahun 2000 di Semarang menujukkan bahwa 48% responden pernah meraba daerah sensitif saat berpacaran, 28% responden telah melakukan petting dan 20% melakukan hubungan seksual.3
Setiap tahun dari 3000 remaja --sekitar 1 diantara 4 remaja yang secara seksual aktif tertular Penyakit Menular Seksual (PMS). Survei juga didapati, bila remaja memiliki rata-rata tertinggi tertular gonorrhea dibanding dengan orang dewasa yang seksual aktif dan wanita berumur 20-44 tahun.
Inilah angka-angka menakutkan berkaitan dengan perkembangan remaja kita hari ini. Persoalan ini menunjukkan kepada kita bahwa perkembangan seksualitas anak dan remaja kita, dari tahun ke tahun semakin bertambah.
Masalahnya, perkembangan itu bukan bertambah baik tapi justru semakin mengerikan. Sebab, umumnya, perkembangan hubungan seksualitas anak dan remaja kita diakibatkan adanya persepsi yang keliru mengenai pacaran. Banyak orang tua tertipu penampilan anak-anak mereka. Di rumah, dia adalah anak yang sopan, pendian dan terkesan lugu. Namun diluar sana, dia justru mengahkan orang-orang dewasa. Bahkan, mungkin lebih gila dari sekedar itu.
Konseling Sahaja-PKBI DIY pernah meneliti menyangkut persoalan remaja, khususnya menyangkut hubungan pacaran. Penelitian –yang sebenarnya merupakan rekap konsultasi itu—dilakukan sejak tahun 1998 hingga 1999 dilakukan terhadap 1.514 klien. Berdasarkan laporan itu, hampir separuh (48 persen) dari 1.514 klien yang melakukan konsultasi, mengalami permasalahan seputar pacaran. Misalnya; persoalan komunikasi (30 persen), taksir-menaksir (25 persen), perselingkuhan (4 persen) serta permasalahan patah hati, kekerasan, persiapan pernikahan, beda agama, konflik dengan pihak ketiga dan lain sebagainya. Namun yang lebih menarik dari penelitian itu adalah keberanian para anak dan remaja kita dalam melakukan aktifitas seksual yang seharusnya hanya dilakukan oleh pasangan suami-istri yang syah.
Mengapa terjadi masalah seperti ini? Jawabannya mungkin panjang. Hanya saja, salah satu factor utama adalah masalah berkaitan dengan pendidikan seksual anak-anak kita. Atau bisa juga disebut dengan ‘pendidikan kedewasaan’.
Istilah pendidikan seks, sering dipahami keliru banyak orang seolah-olah mengajarkan pendidikan hubungan intim layaknya apa yang dilakukan suami-istri. Padahal, yang dimaksud dari makalah ini adalah tidaklah demikian.
Sering kita menghadapi pertanyaan sepele dari buah hati kita menyangkut masalah seksual. Misalnya; saat anak bertanya, “Umi, dari mana adik lahir? Kenapa ibu bisa hamil? Pacaran itu boleh nggak sih? Umi, kenapa sih wanita bisa hamil sedang pria tidak?
Biasanya, para orangtua, senantiasa menghadapi pertanyaan ini dengan emosional. Ada tiga cara yang dilakukan orangtua:

Pertama, Pertama, langsung menampar atau membentak. “Husss! Anak kecil tak boleh bicara itu. Awas kalau diulangi lagi!.

Kedua, berusaha menutup-nutupi atau mengalihkan perhatian anak. Dan yang ketiga, langsung menjawabnya, meski dalam kondisi hati seperti gunung berapi yang ingin ‘meledak” dan dengan jawaban yang pas-pasan.

Ketiga, Tapi pilihan yang terakhir hanya dilakukan segelintir orang saja. Yakni mendampinginya dengan jawaban-jawaban sesuai kebutuhannya.

Beberapa Tips
Di bawah ini ada beberapa [10 tips ] yang kami ambilkan dari berbagai sumber, bagaimana seharusnya para orangtua menjawab anak;

· Mulailah dengan berdoa dan membaca Bismillah.
Agar Allah SWT tetap menuntut Anda dan menurunkan ilham untuk memberikan jawaban yang bukan saja dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah namun yang lebih penting adalah dapat dipertanggungjawabkan secara aqidah.

· Mulailah sejak awal
Ajarilah anak-anak tentang perbedaan jenis kelamin dengan lemah lembut, dilanjutkan sesuai arah informasi sejak awal mungkin.

· Berikan informasi yang Tepat.
Pelajari apa yang anak-anak peroleh dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Lalu siapkan informasi yang jauh lebih bermutu untuk Anda sampaikan padanya. Jangan memarahinya. Jika benar-benar tidak mengerti, berjanjilah akan mencari tahu dan jangan menjawab sekenanya. “Maaf Ibu tak mengerti, nanti ibu tak cari tahu ya nak?”

Gunakanlah istilah-istilah yang tepat. Menyangkut bagian tubuh seperti telinga, mata dan hidung dengan nama yang sesungguhnya. Katakanlah “penis, “ bukan “burung” atau “titit”. Sebut “vagina” dan “vulva” bukan “itunya adik.”

· Jangan Merasa Ngeri

· Jelaskan di mana saja, setiap ada kesempatan

Waktu yang tepat adalah disaat melihat hewan sedang kawin. Tapi biasanya, banyak orangtua melelaui kesempatan emas ini dengan cara memalingkan perhatian.

· Banyak Mendengar
· Tidak Menghakimi
· Jelaskan sesuai Umur
· Jadilah Role Model [uswatun hasanah] bagi anak

Sex Edu menurut Al-Quran?
Pendidikan seks atau dikenal dengan istilah ‘sex education’ (atau Sex Edu) bukanlah sesuatu yang tabu. Yang pernah mengenyam dunia pesantren, khususnya menjelang lulus, sering mendapatkan tambahan pelajaran khusus tentang bab ‘kedewasaan’.

Di pesantren-poesanten NU, ada kitab kuning yang dikenal blak-blakan. Diantaranya adalah; Masailun nisa (masalah wanita), 'Uqud al-Lujayn (ikatan suami-istri), Qurrotul ‘Uyun (penyejuk mata).[1] Atau kitab-kitab lain. Di Pesantren Al-Mukmin, Ngruki, biasanya memakai “Minhajul Muslim”. Di beberapa pesantren ada yang memakai “Fikih Nisa’” atau “Fikih Munakahat”,

Yang jelas, bagi yang mengenal pesantren, pendidikan seperti itu jauh hari sudah diajarkan dengan baik. Tentu saja, ini diajarkan untuk anak-anak yang matang dan dianggap sudah baligh.

Islam sendiri, telah memberikan panduan –yang menurut saya, sebagai pendidikan seks—dalam Al-Quran. Diantaranya adalah:

· Pelajaran tentang Malu bagian dari Iman

· Memilihkan teman yang baik. “Janganlah kamu berteman kecuali dengan orang yang beriman dan janganlah ikut memakan makananmu kecuali orang yang bertaqwa.” (Hadis Riwayat Ahmad dari Abu Sa’id Al-Khudri)

· Adab Meminta Izin

“Hari orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum baligh diantara kamu, meminta izin kepadamu tiga kali (dalam sehari) yaitu; sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian luarmu di tengah hari, dan sesudah sembayang isya’. Itulah tiga aurat bagimu, Tidak ada dosa atasmu dan tidak pula atas mereka selain dari tiga waktu itu. Mereka melayani sebagaian kamu (ada keperluan) kepada sebagaian yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nur (24): 58)
Memisahkan Kamar
Menjaga Pandangan dan Menutup Aurat
Mempercepat Menikah atau “berpuasa”


Baca Selengkapnya......

Model Pendidikan Luar Sekolah hasil Pemikiran Asah Pena


Homschooling untuk Gakin
Dalam beberapa tahun terakhir, homeschooling (HS) merebak di beberapa kota di Jawa Timur. Tak hanya untuk kalangan berada


 

Homschooling untuk Gakin

Dalam beberapa tahun terakhir, homeschooling (HS) merebak di beberapa kota di Jawa Timur. Tak hanya untuk kalangan berada, sekolah rumah itu juga bakal bisa diterapkan terhadap keluarga tak mampu.

BELUM ada data pasti berapa jumlah anak yang belajar atau bersekolah di rumah alias ber-homeschooling di Indonesia. Namun, saat ini kian banyak orang tua yang berminat memberikan pembelajaran di rumah. Apalagi HS sebagai salah satu pendidikan alternative sudah terakomodasi dalam sistem pendidikan nasional.

Simak saja bunyi Undang-Undang Sisdiknas pasal 27 ayat 1 Di sana disebutkan, "Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri". Ayat 2 menyebutkan, "Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud ayat 1 diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan". Melalui payung hukum itu, mereka yang belajar di rumah sudah tak perlu was-was tentang legalitas sistem pembelajaran mereka. Semuanya sah.

Namun demikian, citra homeschooling di masyarakat masih beragam. Sebagian menganggap homeschooling mahal. Pasalnya, berbagai macam fasilitas harus dipenuhi sendiri. Misalnya alat-alat laboratorium yang jamaknya disediakan sekolah.

Menanggapi hal itu, Daniel M. Rosyid, ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur menegaskan bahwa siapa pun dapat ber-homeschooling. Menurutnya, model pendidikan rumah itu justru hadir bagi mereka yang tak mampu dalam hal finansial. Misalnya, keluarga miskin (gakin). "Sebab, anak-anak miskin tidak perlu mengeluarkan ongkos seragam sekolah, SPP, maupun uang gedung. Dengan demikian, jatuhnya biaya lebih murah dibandingkan pendidikan formal," jelasnya.

Persoalannya, tidak semua keluarga dari kalangan kurang mampu mengetahui cara untuk mendidikan anaknya dengan model homeschooling. Padahal, saat ini sudah ada lembaga yang menfasilitasi hal tersebut. Di Jawa Timur, salah satu lembaga itu bernama Asosiasi Sekolah Rumah Pendidikan Alternatif (Asah Pena). Beberapa waktu lalu, lembaga yang diketuai Daniel itu telah meneken MoU (memorandum of understanding) dengan Dirjen Pendidikan Luar Sekolah-Depdiknas.

Menurut Daniel, Dirjen PLS menyisihkan 10 persen anggaran mereka untuk digunakan membantu program Asah Pena. Sasarannya adalah program yang membidik pendidikan anak, terutama mereka yang datang dari ekonomi lemah. Misalnya, anak-anak yang mengalami drop out (DO) di suatu daerah akan diberikan bantuan lewat model pembelajaran sekolah rumah. "Kegiatan belajar itu bisa dilaksanakan dengan berkelompok," terangnya.

Daniel, yang juga ketua Asah Pena, menekankan bahwa homescooling tidak hanya diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga berduit. "Justru prioritas kami nantinya membantu untuk menuntaskan program wajib belajar pendidikan dasar," lanjutnya.

Asah Pena juga akan membantu memfasilitasi mereka yang memilih homescooling untuk didaftarkan sebagai komunitas belajar pendidikan non formal. Dengan demikian, pesertanya bisa mengikuti ujian nasional kesetaraan paket A (setara SD), paket B (setara SMP), dan paket C (setara SMA).

Dalam Asah Pena juga berkumpul para guru dan mahasiswa yang siap membantu. Pasalnya, saat ini banyak yang masih salah menafsirkan homeschooling. Meskipun belajar di rumah, namun esensi pendidikan tetap sama. "Mereka harus mengacu pada kurikulum standar nasional. Ini mungkin yang masih harus ditekankan pada masyarakat," tegasnya.

Asah Pena sendiri telah berdiri sejak 4 Mei 2006 di kantor Depdiknas Jakarta. Asosiasi ini membidani dan mengakomodasikan berbagai kegiatan pendidikan di tanah air oleh beberapa tokoh dan praktisi pendidikan

 

Baca Selengkapnya......

Nasib Studi Islam di Perguruan Tinggi

Kampus-kampus Islam harusnya berpijak kepada keilmuan Islam dan menjadi yang terbaik.  



Pada hari-hari ini, seperti biasa menyongsong tahun ajaran baru, banyak orang tua dan juga siswa yang sibuk bertanya, kemana akan melanjutkan kuliah? Banyak kampus sudah memasang iklan di media massa, mempromosikan program studi di kampus masing-masing.

Seperti biasa, program studi Islam di berbagai perguruan tinggi Islam pun mulai menyiapkan diri untuk menggaet dan menerima mahasiswa baru. Menteri Agama RI belum lama ini menyampaikan, bahwa untuk saat ini, perubahan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) distop dulu. Sekarang, hanya ada UIN di seluruh Indonesia.

Menteri Agama khawatir, pembukaan UIN akan semakin meminggirkan program studi Islam di kampus tersebut, sebagaimana yang terjadi selama ini. Sebab, bukan rahasia lagi, para mahasiswa dan orang tuanya, lebih banyak yang berminat memasuki program-program studi umum yang dibayangkan akan lebih menjamin masa depan

Di sejumlah universitas Islam, orang tua rela membayar uang masuk ratusan juta rupiah, agar anaknya bisa diterima di Fakultas Kedokteran. Sementara, sangat sedikit yang berminat masuk ke fakultas/jurusan Tarbiyah, Ushuluddin, Syariah, atau Dakwah, meskipun biaya pendidikan di situ sangat murah dan bahkan ada yang digratiskan. Tentu tidak sulit memahami masalah ini. Kuliyah di kedokteran dianggap lebih menjamin masa depan, lebih bergengsi, dibandingkan kuliah di fakultas dakwah.

Kondisi seperti ini berlangsung sejak dulu. Apa yang terjadi kemudian adalah fakta bahwa banyak yang mengambil program studi Islam adalah anak-anak yang kondisi intelektual dan ekonominya pas-pasan. Banyak yang tidak terlalu bersemangat untuk mengambil studi Islam. Ini sering dikeluhkan oleh berbagai praktisi pendidikan Islam. Anak-anak pinter di SMA hampir tidak ada yang bercita-cita menjadi guru agama, meskipun meraka adalah para aktivis Islam di sekolahnya, atau meskipun orang tuanya adalah tokoh agama. Ringkasnya, hingga kini, studi Islam masih belum menarik minat banyak mahasiswa dan orang tua yang dikaruniai kelebihan akal dan harta.

Masalah ini sudah berlangsung berpuluh tahun dan belum banyak berubah. Tidak bisa tidak, umat Islam harus memikirkan masalah ini dengan serius dan mencarikan jalan keluarnya. Dalam iklim materialisme yang mendominasi masyarakat, memang tidak mudah untuk menawarkan program studi Islam yang menanamkan nilai-nilai keikhlasan dan orientasi akhirat. Pondok Pesantren yang dulu hanya mengandalkan pendidikan agama ‘non-ijazah negeri’ – untuk menjaga keikhlasan dalam menuntut ilmu – mulai banyak yang berkompromi dengan kurikulum sekolah negeri agar bisa mendapatkan ijazah. Sebab, ijazah itulah yang dibutuhkan untuk mencari kerja.

Untuk membenani masalah ini, mau tidak mau, harus dimulai dari kampus Islam itu sendiri. Kampus Islam harus berbenah diri, meningkatkan kualitasnya, dan serius dalam menyelenggarakan program studi Islam.

Tidak boleh ada yang asal-asalan membuat program studi Islam, apalagi melakukan jual beli gelar. Kampus Islam harus berpijak kepada keilmuan Islam dan menerapkannya dalam kurikulum dan sistem pendidikannya. Program studi Islam haruslah menjadi yang terbaik. Para dosennya seharusnya merupakan dosen-dosen terbaik dan bersungguh-sungguh dalam mengajar. Tentu saja, kampus itu harus menyediakan imbalan yang memadai untuk dosen yang baik.

Di berbagai kampus Islam, masih ada yang honor dosennya sekitar Rp 40 ribu sekali datang, atau yang lebih rendah dari itu. Jumlah itu pun masih dipotong transport. Dengan honor seperti itu, tentulah sulit bagi dosen untuk menekuni bidangnya, membeli buku-buku yang diperlukan, dan membuat makalah-makalah yang berkualitas. Alasan yang diberikan, honor kecil, karena memang SPP murah dan jumlah mahasiswa sedikit. SPP murah, karena minat untuk belajar Islam kurang.

Jadilah semacam lingkaran setan. Bagaimana memotong lingkaran ini? Caranya, pertama, umat Islam harus turun tangan.

Orang-orang yang berkelebihan rizki perlu menginfakkanhartanya untuk membantu kesejahteraan guru dan dosen.

Mereka perlu disadarkan, bahwa masalah studi Islam adalah masalah mendasar yang harus ditangani dengan baik. Pendidikan Islam di perguruan tinggi harus menjadi prioritas pembenahan umat, sebab dari kampus inilah diharapkan lahir sarjana, cendekiawan, atau ulama yang diharapkan akan menjadi ‘bintang’ bagi masyarakatnya. Kedua, anak-anak Muslim yang memiliki kecerdasan tinggi perlu didorong untuk mengambil program studi Islam. Jika mereka sudah mengambil program-program studi ilmu-ilmu umum, maka mereka juga perlu mengambil kuliah dalam studi Islam, sehingga mereka menguasai ilmu-ilmu keagamaan dengan baik, sebagaimana program profesi mereka.

Dalam kaitan inilah, seyogyanya, kampus-kampus umum sudah harus mulai berbenah diri untuk membuka program studi Islam. Saat ini kampus-kampus umum mulai berlomba-lomba membuka program studi Ekonomi Syariah.

Tetapi, motivasi yang dipromosikan adalah, bahwa alumni program studi itu akan mudah untuk mencari kerja di luar, karena kini banyak insitusi ekonomi yang membuka layanan syariah. Sebuah perguruan tinggi terkenal di Jakarta yang menyelenggarakan program studi Islam dan Ekonomi Syariah membuat brosur yang menyebutkan, bahwa “sebagian besar alumninya telah terserap di beberapa instansi baik pemerintah maupun swasta.”

Tentu saja, ini hal yang baik. Tetapi, jika niat sudah keliru – mencari ilmu bukan untuk meningkatkan ibadah kepada Allah – maka bukan tidak mungkin, akan terjadi penyimpangan dalam aplikasinya di lapangan nanti.

Ekonomi syariah adalah manifestasi dari pelaksanaan aqidah Islam, dan program ekonomi syariah harus dilandasi dengan semangat iman dan kecintaan kepada syariah; bukan karena di situ ada keuntungan materi yang besar untuk mengeruk keuntungan. Jika motivasi ini yang digunakan, maka tidak ada bedanya dengan kaum kapitalis yang saat ini juga berlomba-lomba menjalankan ekonomi syariah karena di situ ada keuntungan materi, seperti yang dilakukan sejumlah bank asing dan negara seperti Singapura.

Jika satu kampus dibuat untuk sekedar mencetak para pekerja yang akan mengisi pos-pos kerja, maka kampus telah berfungsi sebagai satu industri. Padahal, pendidikan dalam Islam adalah satu upaya pembentukan manusia yang beradab yang menguasai ilmu-ilmu fardhu ain dengan baik dan memiliki satu keahlian untuk bekerja. Manusia yang beradab inilah tujuan yang utama dari pendidikan Islam. Kampus-kampus Islam yang utama dan pertama haruslah menekankan masalah ini. Dari mana hal ini dimulai? Tentu harus dimulai dari pimpinan dan dosen-dosen di kampus. Adalah sangat sulit kita berharap akan lahir sarjana yang beradab, jika dosennya sendiri tidak beradab. Akan sulit melahirkan sarjana yang mencintai ilmu dan kebenaran jika dosen-dosennya sendiri tidak memiliki tradisi ilmu yang baik dan tidak peduli dengan soal benar dan salah.

Pada Senin, 16 April 2007 lalu, saya mengisi workshop dakwah di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Jakarta, yang diikuti para mahasiswa fakultas tersebut. Kepada para mahasiswa yang hadir, saya menyampaikan pentingnya ada gerakan dakwah yang serius yang dimulai dari kampus itu sendiri. Sebelum terjun melakukan dakwah di masyarakat, sudah seyogyanya, para mahasiswa berdakwah ke dalam kampusnya sendiri. Para mahasiswa tidak boleh berdiam diri terhadap segala kemunkaran yang terjadi di dalam kampus, termasuk dan terutama adalah kemunkaran dalam bidang keilmuan. Adalah aneh, jika segala bentuk kemunkaran keilmuan yang merusak Islam dibiarkan berkembang atas nama kebebasan ilmiah dan kebebasan berpendapat.

Saya baru saja menerima kiriman Jurnal JUSTISIA Fakultas Syariah IAIN Semarang edisi 25 tahun XI 2004. Sampul jurnal ini memuat tulisan yang membuat mata membelalak: “Indahnya Kawin Sesama Jenis”, dengan latar belakang gambar orang-orang gay sedang berpose.

Lama saya cermati sampul jurnal terbitan Fakultas Syariah IAIN Semarang ini? Apakah ini bukan hal yang luar biasa? Mengapa pimpinan kampus tenang-tenang saja? Isi artikel jurnal ini sudah diterbitkan dalam sebuah dengan judul yang sama dengan judul sampul jurnal tersebut. Saya bertanya kepada dosen di salah satu kampus di Semarang, apakah penerbitan jurnal dan buku itu tidak menjadi isu besar di Semarang? Dijawab, bahwa hal itu dianggap sebagai bagian dari kebebasan ilmiah.

Seperti pernah kita bahas dalam salah satu CAP, dalam buku yang wajah sampulnya sama dengan wajah sampul Jurnal Justisia edisi tersebut, ditutup dengan satu Catatan Penutup berjudul: “Homoseksualitas dan Pernikahan Gay: Suara dari IAIN”. Di bagian inilah ditulis pengantar redaksi Jurnal Justisia yang menyatakan: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan yang kuat bagi siapa pun dengan dalih apa pun untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”

Kita patut merenungkan, apakah ungkapan seperti ini juga merupakan bagian dari kebebasan ilmiah yang dikembangkan di kampus tersebut?

Kepada para mahasiswa dan beberapa dosen di Fakultas Dakwah UIN Jakarta, saya secara terbuka menyampaikan harapan, bahwa sebagai orang yang berada di lapangan dakwah, saya sangat prihatin dengan aktivitas sejumlah dosen UIN Jakarta yang tak henti-hentinya menyebarkan paham Pluralisme Agama dan bahkan ada yang menjadi penghulu swasta sejumlah perkawinan beda agama. Apakah hal-hal seperti itu juga dikatakan bagian dari kebebasan ilmiah? Meskipun yang melakukan itu hanya beberapa gelintir dosen, tetapi karena mereka menyebut dirinya sebagai dosen di perguruan tinggi tertentu, maka secara otomatis institusi itu juga terbawa-bawa.

Apalagi, mereka memang sengaja membawa-bawa nama kampus mereka dalam beraktivitas. Kita berharap, pimpinan kampus itu melakukan tindakan pro-aktif untuk melakukan amar ma’ruf nahi munkar.

Sudah saatnya, pimpinan kampus dan para dosen di kampus Islam mulai bersungguh-sungguh membangun kinerja dan citra kampus yang benar-benar Islami. Dari situlah kita berharap, para siswa yang cerdas akan tertarik dan bangga sebagai mahasiswa dalam program studi Islam. Mereka tidak akan merasa rendah diri sebagai mahasiswa program studi Islam. Itu semua hanya mungkin dilakukan jika tradisi ilmu dalam Islam diterapkan dengan baik, baik oleh dosen maupun oleh mahasiswa.

Disamping UIN/IAIN/STAIN, kita saat ini juga berharap pada sejumlah lembaga pendidikan Islam yang sudah bertahun-tahun menyelenggarakan studi Islam pada tingkat Perguruan Tinggi, kampus-kampus Islam seperti; Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor Ponorogo, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STID) Mohammad Natsir Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Sekolah Tinggi Agama Islam Lukmanul Hakim Hidayatullah Surabaya, dan sebagainya.

Kampus-kampus Islam tersebut sekarang sedang secara serius melakukan pembenahan dan peningkatan kualitas mutu dosen dan mahasiswanya. Berdasarkan dialog dengan pimpinan lembaga-lembaga pendidikan tinggi tersebut, mereka memiliki semangat dan kesungguhan untuk memperbaiki kampusnya masing-masing. STID Mohammad Natsir, misalnya, disamping memberikan beasiswa untuk para calon dai, juga mulai menerapkan standar pengajaran dalam bahasa Arab.

Para tokoh Islam perlu benar-benar memahami, bahwa bidang Studi Islam di Perguruan Tinggi, saat ini sedang menjadi ajang perebutan besar antara Islam dengan Barat. Semakin berjubelnya alumni studi Islam dari Barat di kampus-kampus Islam saat ini, suka atau tidak suka, telah membawa dampak besar terhadap kurikulum dan corak pemikiran Islam di perguruan tinggi dan di masyarakat. Pengaruh itu pun kini sudah mulai terasa sangat kuat di institusi-institusi keagamaan, baik swasta maupun pemerintah. Sekitar lima tahun lagi, jika tidak ada arus tandingan, maka pengaruh itu akan merembet ke masjid-masjid atau majlis-majlis taklim. Jika kampus Islam tertentu

merelakan dirinya menjadi satelit dari pemikiran dan peradaban Barat, maka yang rugi adalah kampus itu sendiri, sebab masyarakat Muslim yang sadar akan agamanya, akan enggan menengok kampus itu dan enggan bekerjasama dengan alumni-alumni kampus tersebut.

Inilah tantangan dakwah besar dalam bidang pendidikan tinggi Islam yang harus segera dijawab oleh umat Islam Indonesia. Kita tidak hanya butuh sarjana komputer Muslim yang handal atau dokter Muslim yang handal, tetapi juga dosen agama Islam yang handal, guru agama Islam yang handal, khatib Jumat yang handal, wartawan Muslim yang handal, mubalig yang handal, dan sebagainya. Semua itu memerlukan tenaga pengajar yang handal dan mahasiswa yang berkualitas. Tetapi, semua harus dilandasi dengan kerja keras dan keikhlasan.

Insyaallah, kita belum terlambat untuk berbuat!

 

Baca Selengkapnya......

Basmi Kendala Bahasa

Masalah terbesar bagi orang yang sering bepergian ke luar negeri adalah keterbatasan bahasa. 

Masalah terbesar bagi orang yang sering bepergian ke luar negeri adalah keterbatasan bahasa. Selama ini, bahasa inggris dianggap sebagai jembatan paling kuat. Sayang, tidak semua orang menguasai bahasa tersebut. Termasuk masyarakat kita.

Menyewa penerjemah untuk dibawa ke mana-mana, mahal. Belajar multibahasa akan membutuhkan waktu yang lama. Jadi bawa saja Phraselator P2. Gadget buatan Voxtec International tersebut, bisa menjadi penerjemah setia. Alat itu bisa menerjemahkan berbagai bahasa dari atau menjadi bahasa inggris.

Awalnya, Phraselator P2 dibuat untuk kebutuhan tentara Amerika Serikat. Tujuannya mengurangi kendala bahasa saat bertugas ke berbagai negara. Kini, alat yang berbentuk mirip PDA tersebut, bisa digunakan siapa saja.

Di dalamnya terdapat speaker dan mikrofon. Kita bisa langsung mendengarkan kata-kata hasil terjemahan setelah berbicara melalui mikrofon. Bisa memakai suara perempuan atau laki-laki. Berbeda dengan translator lain, Phraselator tidak perlu dilatih untuk mengenali suara tertentu.

Kita juga bisa merekam suara dari kalimat terjemahan ke dalam SD Card berkapasitas hingga 1 GB. Jika sulit mengatakannya, tak perlu khawatir. Layar LCD di bagian depan menampilkan beberapa pilihan kata atau kalimat untuk diterjemahkan.

Dan ingat, alat ini dirancang untuk kebutuhan para tentara. Artinya, memiliki struktur fisik kuat dan tahan terhadap debu, pasir, dan air.

Kekuatannya ditunjang oleh baterai lithium yang dapat bertahan hingga 20 jam. Jika kehabisan di tengah jalan, bisa di-backup dengan baterai AA. Sayang, harga yang dipatok dianggap terlalu mahal. Yaitu sebesar USD 2.000 atau sekitar Rp 17,5 juta. Tampaknya, orang lebih memilih untuk memakai bahasa tubuh saja jika tidak mengerti bahasanya


 

Baca Selengkapnya......

Wednesday, May 16, 2007

Kadar Setia untuk Kaum Hawa


Mulut boleh aja terus melontarkan kata cinta untuk si dia. Mata boleh aja nggak jelalatan di depannya. Tapi hati? Benarkah cuma ada dia seorang di sana? Nanti dulu. Meski cuma terdiri dari lima huruf, S-E-T-I-A


Mulut boleh aja terus melontarkan kata cinta untuk si dia. Mata boleh aja nggak jelalatan di depannya. Tapi hati? Benarkah cuma ada dia seorang di sana? Nanti dulu. Meski cuma terdiri dari lima huruf, S-E-T-I-A as known as nggak selingkuh alias bertahan pada satu cinta, susah banget dilakukan. Mengapa? Banyak cowok cakep bertebaran di muka bumi ini. Mana bisa semudah itu menghindari godaan. Ya ya ya. Daripada bingung, mending ukur tingkat kesetianmu. (oxy)

Jawab dengan "Ya", "Tidak", "Sedikit Tergiur"
1. Cowok keren yang satu bimbel sama kamu makin lama makin ganteng aja. Apalagi dia sering tersenyum ke kamu, menunjukkan deretan giginya yang indah. Tiba-tiba, kamu jatuh hati padanya.

2. Secret admirer yang sering telepon ngajak ketemuan. Kamu langsung bilang iya. Who knows, dia lebih baik daripada pangeranmu saat ini.

3. Mantan pacarmu jadian lagi. Entah kenapa, tiba-tiba kamu menyesal telah menyerahkan dia pada cewek lain. Padahal, saat ini kamu juga udah punya pacar baru!

4. Sahabatmu sering cerita tentang cowoknya yang super romantis. Respon kamu? Iri pada sahabat dan sebal sama cowokmu karena nggak pernah bisa romantis.

5. Di Friendster, kamu sengaja memilih account single. Cowokmu kebakaran jenggot? No problem! Friendster kan media promosi. Siapa tahu, kamu bisa ketemu jodohmu yang sebenarnya. Sebelum janur kuning melengkung, kamu masih milik umum.

6. Saat pulang kampung, kamu ketemu sama teman main semasa kecil. Duh, tambah cakep aja! Makanya, kamu nggak bisa nolak saat dia ngajak jalan-jalan selama satu minggu penuh. Mumpung yang asli lagi jauh! He he.

7. Nggak masalah bagi kamu kalau harus mutusin dia saat ini juga. Asalkan, ada Tobey Maguire atau minimal Moreno Suprapto di depanmu.

8. Selama satu bulan, cowokmu harus praktik kuliah di Jakarta. Daripada menderita pacaran long distance, mending putus aja deh! Cowok masih banyak. Siapa tahu dapat yang baru!

9. Kamu dikenalin sama abangnya temanmu. Orangnya lumayan sih. Makanya, pas ditanya udah punya cowok apa belum, kamu jawab aja masih jomblo.


Hitung skormu:
Kalikan jawaban "Ya" dengan angka 3. "Tidak" dengan angka 1. "Sedikit tergiur" dengan angka 2.

10-16 Kekasih Yang Setia
Standing ovation memang pantas buat kamu. Benar-benar cewek setia. Biar digoda cowok seganteng apapun, di tempat manapun, dan dalam situasi apapun, kamu tetap tegar. Sudah yakin dan mantap betul ya sama si dia? Segera tunjukkan hasil Quiz ini padanya. Dijamin, dia bakal makin cinta sama kamu.

17-23 KTKG (Kadang Tergiur Kadang Enggak)
Bisa dibilang, cintamu adalah cinta Bunglon. Bisa fleksibel sesuai keadaan. Jika di depan matamu ada cowok keren, ya kamu nggak menolak. Tapi terkadang, kamu juga sadar, kalau udah punya gandengan. Bukan sebuah masalah besar. Asal jangan keterusan. Kasihan cowokmu yang mungkin aja masuk golongan setia!

24-30 Bakat Tukang Selingkuh
One hit wonder! Jatuh cinta sama seseorang, tapi nggak lama kemudian jatuh ke pelukan orang lain. Wah..wah..bahaya nih! Kayaknya kamu belum siap pacaran deh! Kamu lebih cocok punya gebetan, dan nggak melangkah lebih jauh. Karena punya pacar, berarti harus menjaga diri dari banyak godaan di sekitar kita. Oke girls?

Baca Selengkapnya......

ABOUT EDUCATION


Insya Allah akan menjadi pendidik yang baik


Tetap Perlu Kurikulum


HOMESCHOOLING tetap membutuhkan kurikulum. Standarnya mengacu pada kurikulum nasional yang sedang berlaku. Meski demikian, homeschooler tak perlu kaku hanya menerapkan satu kurikulum. "Orang tua boleh memilih kurikulum yang sesuai dengan anaknya," kata Helen Ongko, kepala Morning Star Academy (MSA) yang merupakan komunitas homeschooler di Jakarta dan Surabaya.

Menurutnya, kurikulum diperlukan sebagai panduan bagi anak dalam belajar. Di homeschooling, tidak semua mata pelajaran dalam Kurikulum harus dibebankan kepada anak-anak. Mereka bebas mempelajari apa yang disukai, asalkan tetap mengikuti tata tertib dan disiplin yang telah disepakati bersama orang tua. "Kurikulum dari negara manapun boleh. Sebab, salah satu tujuan homeschooling adalah mengetahui minat anak, kemudian mengarahkannya dengan benar," tegasnya.

Selain kurikulum, para homeschooler juga harus memikirkan pentingnya bersosialisasi. Seto Mulyadi dari Asosiasi Sekolah Rumah Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Jawa Timur memberikan beberapa alternatif penerapan homeschooling yang bukan individual. Misalnya, homeschooling majemuk yang dilaksanakan dua keluarga atau lebih untuk kegiatan tertentu. Sementara, kegiatan pokok tetap dilaksanakan orang tua masing-masing. "Selain untuk bersosialisasi, para keluarga juga bisa memikirkan kurikulum bersama," tuturnya.

Gabungan beberapa home schooling majemuk juga bisa menyusun dan menentukan silabus, bahan ajar, kegiatan pokok, dan jadwal pembelajaran. Komitmen penyelenggaraan pembelajaran antara ornag tua dan komunitasnya kurang lebih 50:50.

Meski demikian, bukan berarti homeschooling tidak sarat dengan kendala. Misalnya homeschooling tunggal. Model ini memiliki tantangan seperti sulitnya memperoleh dukungan atau tempat bertanya, berbagi, dan berbanding keberhasilan. Anak juga terancam kurang tempat sosialisasi untuk mengekspresikan diri sebagai syarat pendewasaan. "Karena itu, orang tua harus melakukan penilaian hasil pendidikan dan mengusahakan penyetaraannya," jelasnya.

Tantangan yang siap menghadang home schooling majemuk adalah kompromi dan fleksibilitas jadwal, suasana dan fasilitas pembelajaran, serta kebutuhan akan adanya ahli bidang tertentu. Selain itu, anak-anak juga harus menyesuaikan atau menerima lingkungan lainnya dengan menerima perbedaan-perbedaan sebagai proses pembentukan jati diri. Karena itu, orang tua masing-masing penyelenggara homeschooling harus menyelenggarakan sendiri penyetaraannya.

Untuk komunitas homeschooling, tantangannya mirip dengan model majemuk. Anak-anak dengan keahlian atau kegiatan khusus harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan lainnya dan menerima perbedaan-perbedaan sebagai proses pembentukan jati diri. Dalam model ini, orang tua harus tetap tetap ada untuk mendampingi. (ara/kit)

Baca Selengkapnya......

PENDIDIKAN KE DEPAN

Memecahkan Sembilan Persoalan Pendidikan melalui
Grand Design Bikinan Jatim



Kurikulum Sesuai Karakter Daerah
Jawa Timur merupakan provinsi yang pertama kali menyusun grand desain pendidikan untuk jangka waktu hingga 2025. Berbagai problem pendidikan di telah dipetakan. Serangkaian solusi ditawarkan untuk mengembangkan arah pendidikan di Jawa Timur.
----------------------------

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur melihat ada tiga persoalan pokok pendidikan yang mendesak untuk di pecahkan. Pertama, angka buta aksara yang mencapai 4.519.681 orang. Rinciannya, laki-laki 1.409.316 dan perempuan 3. 110.365. Jumlah itu menempatkan Jatim sebagai provinsi yang memiliki penduduk buta aksara terbanyak di Indonesia

Permasalahan kedua adalah belum sesuainya kualitas guru dengan tuntutan UU nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen. Terkahir, belum meratanya peningkatan mutu pendidikan. Namun, sejatinya ada sembilan persoalan yang dibahas dalam grand design pendidikan Jawa Timur (selebihnya lihat grafis). Semua telah disosialisasikan kepada para kepala dinas pendidikan kabupaten/kota se-Jatim di Batu, Malang beberapa waktu lalu.

Berbagai masukan dari kepala dinas pendidikan ditampung waktu itu. Universitas Negeri Surabaya (Unesa) sebagai penyusun grand design pendidikan merumuskan kembali konsep plus masukan yang diberikan. Hasilnya disosialisasikan lagi ketika Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) melalui teleconference yang dilakukan Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur bersama sepuluh bupati kota/kabupaten Jawa Timur pada 2 mei lalu. Di antaranya, Surabaya, Lamongan, Gresik, Malang, Batu, Probolinggo, Pasuruan, dan Situbondo.

Grand design pendidikan Jawa Timur dibagi menjadi empat periodisasi panjang dalam penyusunan setiap program. Pertama, periodisasi 2006-2010 dipioritaskan untuk peningkatan kapasitas dan modernisasi. Kedua, periode 2011-2015 untuk pemantapan dan implementasi semua program untuk jenjang pendidikan atas dan sederajat. Ketiga, periode 2016-2020 diutamakan untuk daya saing regional. Terakhir, periode 2021-2025 semua program pendidikan tuntas untuk semua jenjang pendidikan.

Kepala dinas P dan K Jatim Rasiyo mengakui bahwa implementasi program pendidikan di setiap kota/kabupaten memang tidak sama. Semua tergantung karakteristik dan kondisi riil masing-masing daerah. Karena itu, keberadaan grand design diharapkan bisa memberi pedoman maupun referensi dalam menyusun rencana strategis (renstra) pendidikan di masing-masing wilayah. "Dengan begitu, arah kebijakan tidak melenceng dari grand design yang disusun," terang Rasiyo dalam telekonference itu.

Pendidikan Sepanjang Hayat

Dalam launching grand design pendidikan beberapa waktu lalu, Dinas P dan K memaparkan kondisi riil pendidikan di Jatim. Persoalan pertama yang diangkat adalah buta aksara di daerah pinggiran atau pesisir yang termasuk tinggi. Bersama Unesa, Dinas P dan K telah menggagas program keaksaraan fungsional. Yakni, dengan pengembangan kurikulum yang dikaitkan dengan ketrampilan yang dikuasai warga setempat. "Kurikulum yang kami disusun disesuaikan dengan kebutuhan warga," ujar Mochtar Basuki, Waka Dinas P dan K yang mendampingi Rasiyo waktu itu.

Program keaksaraan yang diterapkan merupakan pendidikan sepanjang hayat (longlife education). Dengan konsep ini, para warga belajar dengan mempertimbangkan kemauan (desire), kecakapan (ability), sarana dan infrastruktur (means), serta kebutuhan (needs). "Sedangkan pendekatan yang akan dipilih disesuaikan dengan kondisi warga belajar setempat," ujarnya.

Dia mencontohkan, pembelajaran yang diterapkan di Surabaya berbeda dengan wilayah lain. Sebab, wilayah Surabaya lebih berciri urban. Karena itu, pendidikan akan ditekankan berdasarkan pembinaan jiwa kewirausahaan. Dengan usaha tersebut, tingkat buta aksara dapat ditekan pada tahun 2009.

Masalah kedua adalah problem sertifikasi guru. Dikatakan Rasiyo, angin segar sempat berembus ketika santer terdengar akan segera disahkan Permendiknas. Namun, hingga kini kabar itu entah menguap kemana. Padahal, kualifikasi guru di Jawa Timur masih rendah. "Sertifikasi itu menggenjot para guru untuk meningkatkan kualifikasinya," terangnya.

Untuk diketahui, saat ini baru 10 persen guru di Jatim yang bersertifikasi S-1. karena itu, Dinas P dan K Jatim menargetkan 40 persen guru di Jatim sudah bergelar S-1 pada tahun 2009. Sehingga, tahun 2025 sesuai dengan target akhir grand design pendidikan, semua guru harus sudah bergelar S1.

Untuk mengejar target tersebut, Dinas P dan K siap memberikan pelatihan terhadap para guru di daerah. Untuk operasional pelatihan, Dinas P dan K telah memasrahkan ke Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Dijelaskan Martadi MSN, salah satu konseptor grand design pendidikan dari Unesa, Unesa siap mendatangi guru-guru di daerah untuk memberikan pelatihan.

Pelatihan itu, kata Martadi, terkait dengan peningkatan kualifikasi guru. Pasalnya, lanjut Martadi, kesempatan guru daerah untuk mengikuti seminar atau pelatihan sebagai poin plus sertifikasi guru terbilang minim. "Karena itu, kami jemput bola dengan memberikan kelas jarak jauh ke sana," terangnya.

Problem pokok pendidikan ketiga ialah belum meratanya tingkat pendidikan di Jatim. Masih ada beberapa daerah yang progesitas pendidikannya jauh tertinggal dengan kota-kota seperti, Surbaya, Malang, dan Sidoarjo.

Dikatakan Rasiyo, peningkatan pendidikan dapat dilihat kualitas output. Sedangkan aspek yang dominan dalam peningkatan mutu pendidikan adalah peran guru, penerapan manajemen, fasilitas pendidikan, kurikulum yang diberlakukan, serta sistem pendidikan yang digunakan. "Karena itu, upaya strategis seperti peningkatan kompetensi guru mutlak diperlukan," ujarnya.

Dia menambahkan, upaya peningkatan mutu itu harus didukung dengan langkah ketiga berupa penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik. Menurutnya, peningkatan mutu pendidikan harus diiringi dengan kebijakan pemerintah yang efektif dan akuntabel. Karena itu, Dinas P dan K akan berusaha merealisasikan pembangunan pendidikan di Jawa Timur yang bersih dan bebas dari KKN. "Caranya dengan menunjukkan etos kerja serta disiplin kerja yang tinggi," tuturnya. (titik andriyani)

Baca Selengkapnya......

Monday, May 14, 2007

peneliti yang menggunakan wacana Theon L. van Dijk


II Teori elemen wacana Theon.L.Van Dijk

Teori yang digunakan van Dijk ini kerap disebut dengan “kognisi sosial” istilah itu sebenarnya diambil dari pendekatan lapangan psikologi sosial terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya suatu teks. Nama pendekatan seperti tidak lepas dari karakteristik yang diperkenalkan oleh Van Dijk
Ia melihat suatu wacana terdiri atas berbagai struktur/tingkatan, yang masing-masing bagian saling mendukung. Van Dijk membaginya menjadi tiga tingkatan:
a) Struktur makro. Ini merupakan makna global/umum suatu teks yang dapat dipahami dengan melihat topik dari suatu teks
b) Superstruktur adalah kerangka suatu teks. Bagaimana struktur dan elemen itu disusun dalam suatu teks secara utuh
c) Struktur mikro adalah makna wacana yang dapat diamati dengan menganalisis kata, kalimat, proposisi, anak kalimat yang dipakai dan sebagainya.

Tabel elemen wacana Van Dijk

Struktur Wacana Hal Yang Diamati Elemen
Struktur Makro Tematik
(Apa yang dikatakan) Topik
Superstruktur Skematik
(Bagaimana pendapat disusun dan dirangkai) Skema
Struktur Mikro Semantik
(Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita) Latar, detail, maksud, praanggapan, nominalisasi
Struktur Mikro Sintaksis
(Bagaimana pendapat disampaikan) Bentuk aklimat, koherensi, kata ganti
Struktur Mikro Stilistik
(Pilihan kata apa yang dipakai) Leksikon
Struktur Mikro Retoris
(Bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan) Grafis, metafora Ekspresi

Dalam pandangan Van Dijk, segala teks bisa dianalisis dengan menggunakan elemen tersebut. Meski terdiri atas berbagai elemen, namun semua elemen itu merupakan suatu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Untu memperoleh gambaran ihwal elemen-elemen struktur wacana tersebut, berikut akan dijelaskan singkat tentang elemen tersebut.

A. Tematik
Secara harfiah berarti suatu yang telah diuraikan atau sesuatu yang telah ditempatkan yang berasal dari kata Yunani tithenai, kata ini juga sering disandingkan dengan kata topik yang dari kata Yunani topoi yang secara teoritis berarti informasi yang paling penting dari suatu wacana.
Theon.L.Van Dijk mendefinisikan topik sebagai struktur makro dari suatu wacana, dari topik kita akan dapat mengetahui ,masalah dan tindakan yang diambil, atau pendapat dapat diamati pada struktur makro dari suatu wacana.

B. Skematik
Kalau topik menunjukkan makna umum dari suatu wacana, maka struktur skematis atau superstruktur menggambarkan bentuk umum dari suatu teks. Dengan pembagian umum seperti pendahuluan,, isi, kesimpulan, pemecahan masalah, penutup dan sebagainya. Dengan kata lain, struktur skematik memberi tekanan pada bagian mana yang didahulukan dan bagian mana yang bisa dikemudiankan sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting.
Dalam konteks penyajian berita, meskipun mempunyai bentuk dan skema beragam, berita umumnya secara hipottik mempunyai dua kategori skema besar yakni summary yang umumnya ditandai dengan dua elemen yakni yang pertama judul dan lead (teras berita) elemen ini dipandang paling penting. Yang kedua yaitu story yakni isi berita secara keseluruhan. Menurut Van Dijk arti penting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung tertentu yang ingin disampaikan dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan-urutan tertentu. Skematik memberikan tekanan yang mana didahulukan, dan bagian mana yang bisa dikemudiankan.

C. Semantik
Yang penting dalam analisis wacana adalah makna yang ditunjukkan oleh struktur teks. Dalam pengertian umum, semantik adalah disiplin ilmu bahasa yang menelaah makna satuan lingual, baik makna leksikal maupun makna gramatikal. Kalau studi linguistik konvensional, makna kata dihubungkan dengan arti yang terdapat di kamus, sedang dalam analisis wacana, makna kata adalah praktik yang ingin dikomunikasikan sebagai suatu strategi. Dengan kata lain semantik tidak hanya mendefinisikan bagian mana yang penting dari struktur wacana, akan tetapi menggiring ke arah tertentu dari suatu peristiwa. Semantik dalam skema Van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal, yakni makna yang muncul dari hubungan antar kalimat, antar proposisi yang membangun makna tertentu dalam suatu bangunan teks.
Semua strategi semantik selalu dimaksudkan untuk menggambarkan diri sendiri atau kelompok sendiri secara positif sebaliknya menggambarkan kelompok lain secara buruk, sehingga menghasilkan makna yang berlawanan. Kebaikan digambarkan dengan detail yang besar, eksplisit, langsung dan jelas. Sebaliknya ketika menggambarkan keburukan disajikan dengan detail pendek, implisit dan samar-samar.
Latar merupakan elemen wacana yang tergabung dalam makna semantik yang dapat menjadi alasan pembenaran gagasan yang diajukan suatu teks. Bentuk lain dari strategi semantik adalah detail yakni elemen wacana detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan oleh komunikator. Pengandaian adalah strategi lain yang dapat memberi citra tertentu ketika diterima khalayak.

D. Sintaksis
Sintaksis merupakan bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa dan frase. Strategi untuk menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan negatif juga bisa menggunakan sintaksis seperti pada pemakaian kata ganti, aturan tata kata, pemakaian kategori sintaksis yang spesifik, pemakaian kalimat aktif dan pasif.
Pemakaian koherensi dalam level semantik ini adalah pertalian atau jalinan antar kata, proposisi atau kalimat. Dua buah kalimat atau proposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan memakai koherensi. Bisa juga melalui hubungan sebab akibat dengan melihat kata hubung yang dipakai untuk menghubungkan fakta/proposisi.
Bentuk lain lain adalah dengan melakukan nominalisasi yang dapat memberikan sugesti kepada khalayak adanya generalisasi. Wacana yang hampir sama dengan nominalisasi adalah abstraksi. Strategi pada level sintaksis yang lain adalah dengan menggunakan bentuk kalimat, yang berhubungan dengan cara berpikir logis yaitu prinsip kausalitas. Bentuk kalimat disini bukan hanya pada persoalan kebenaran teknis tata bahasa, tetapi menentukan makna dari susunan kalimat.
Bisa juga melalui bagaimana proposisi-proposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat. Elemen lain yang bisa digunakan adalah kata ganti yang bertujuan untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif.

E. Stilistik
Pusat perhatian stilistik adalah pada style yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Dengan demikian style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa.
Apa yang disebut gaya bahasa sesungguhnya terdapat dalam segala ragam bahasa, ragam lisan dan ragam tulisan, ragam nonsastra dan ragam sastra. Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan leksikal, ragam kalimat, majas dan citraan, pola rima, matra yang digunakan seorang sastrawan yang terdapat dalam sebuah karya sastra.
Pilihan leksikal jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata. Istilah ini bukan saja dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang digunakan untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Pada dasarnya pemilihan leksikal menandakan bagaimana orang melakukan pemilihan kata atau frase atas berbagai kemungkinan kata atau frase yang tersedia. Sehingga peristiwa sama bisa digambarkan dengan pilihan kata yang berbeda-beda.

F. Retoris
Strategi dalam level ini retoris di sini adalah gaya yang diungkapkan ketika seorang berbicara atau menulis. Misalnya, dengan pemakaian kata yang berlebihan (hiperbolik), atau bertele-tele. Retoris mempunyai fungsi persuasif, dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan itu hendak disampaikan kepada khalayak. Pemakaiaannya, diantaranya dengan menggunakan gaya repetisi (pengulangan), aliterasi (pemakaian kata-kata yang permulaannya sama bunyinya seperti sajak, sebagai suatu strategi untuk menarik perhatian, atau untuk menekan sisi tertentu agar diperhatikan oleh khalayak.
Retoris juga muncul dalam bentuk interaksi, yakni bagaimana komunkator menempatkan dirinya diantara khalayak. Apakah memakai gaya formal, informal atau malah santai yang menunjukkan kesan bagaimana ia menampilkan dirinya.
Strategi lain dalam wacana ini adalah ekspresi, yang bertujuan untuk membantu menonjolkan atau menghilangkan bagian tertentu dari teks yang disampaikan. Dalam suatu wacana, seorang komunikator tidak hanya menyampaikan pesan pokok, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora, yang dimaksud sebagai ornamen atau bumbu suatu teks.
Wacana terakhir yang menjadi strategi dalam level retoris ini adalah dengan menampilkan apa yang disebut visual image. Dalam teks elemen ini ditampilkan dengan penggambaran detail berbagai hal yang ingin ditonjolkan.


Baca Selengkapnya......